PANGKAL PINANG – Kerugian yang dialami oleh PT Timah hingga Rp700 miliar di tahun 2019 menjadi sorotan Komisi III DPR RI. Pasalnya, kerugian yang dialami PT Timah ini, menurut Panja Pengawasan dan Penegakkan Hukum Komisi III DPR RI, Arteria Dahlan, terkesan ganjil jika melihat fasilitas kebijakan yang telah diberikan oleh pemerintah.
Arteria justru mengatakan PT Timah yang telah mendapat fasilitas kebijakan dari Pemerintah seharusnya tidak akan mengalami kerugian seperti saat ini sehingga dia meminta untuk buka bukaan.
“Ini semua bisa menjadi pemalsuan dan periksa semuanya, kita akan buka-bukaan saja, kami juga ingin melihat bagaimana PT Timah yang menikmati kegaduhan ini. Kok ada proteksi regulasi satu pihak. Kemudian dilakukan upaya penegakan hukum atas nama hukum oleh penegak hukum kepolisian untuk melindungi bisnis dan transaksi PT Timah. Kenapa masih merugi,” kata Arteria saat kunjungan kerja ke Mapolda Kepulauan Babel, Kamis (9/7/20).
Berdasarkan informasi yang dihimpun beritamusi.co.id, penyebab kerugian PT Timah ini diduga lantaran pola kerjasama yang diterapkan PT Timah terhadap 5 smelter. Pola Kerjasama PT Timah dengan 5 Smelter menurut infonya, PT Timah menerbitkan Surat Perintah Kerja (SPK) kepada mitranya dalam hal peleburan bijih timah dan SPK jasa pengangkutan.
Namun di lapangan PT Timah justru membeli bijih timah dari ke 5 mitranya itu dengan harga tinggi, akibatnya Harga Pokok Produksi (HPP) tinggi tidak bisa dipantau atau dikendalikan dan cenderung mengikuti harga pasar dengan cara jual beli yg seharusnya dibayar dg kompensasi berdasarkan biaya angkut . Padahal ke 5 mitra tersebut tidak ditemukan ada kegiatan penambangan melainkan hanya mengumpulkan bijih timah (kolektor) di IUP PT Timah yang notabene nya diduga dari kegiatan kegiatan tambang ilegal.
Selain membeli bijih timah dari 5 mitranya, PT Timah juga masih mengeluarkan biaya upah sewa peleburan kepada 5 mitranya karena bijih timah yang dibeli tersebut dilebur di Smelter (Double Coasting). Tidak hanya sampai di situ. Dalam pengiriman logam timah yang sudah dilebur di Smelter. PT Timah kembali menanggung biaya pengangkutan balok timah ke Muntok sebab logam dari Smelter harus diproses kembali untuk direfining dengan standarisasi balok PT Timah TBk.
Bisa dibayangkan, jika PT Timah dalam setiap bulannya membeli bijih timah hingga ribuan ton dari 5 Smelter mitranya itu. Maka berapa besar anggaran PT Timah yang bocor dari hasil kerjasama tersebut. Dari mulai mendapatkan bahan baku alias bijih timah pun sudah tinggi biayanya jadi jelas dengan anjloknya harga logam yang sekarang belum juga naik secara signifikan tidak tertutupi dengan biaya operasi dan produksinya. Sehingga mau tidak mau harus menahan jumlah produksi dan penjualan sampai harga kembali membaik.
Nah karena yang dilakukan dengan SPK jasa borongan pengangkutan harusnya yang dilakukan adalah proses angkut dan dibayar sewa angkutnya. Namun prakteknya pihak mitra justru membeli bijih timah dari pengumpul (kolektor, red). Hal ini jelas ada unsur penerimaan pajak yang dicurangi oleh pihak mitra pengangkutan yang nota bene nya bijih timah yang berasal dari IUP PT.Timah TBK harusnya hanya diangkut dari lokasi tambang yang dikelola pihak mitra PT.Timah bukan membeli dari masyarakat dan kolektor.
Terkait kerjasama smelter tersebut, Kabid Humas PT Timah, Anggi Siahaan mengatakan bahwa program tersebut berangkat dari kapasitas peleburan PT Timah yang tidak dapat menampung produksi dalam jumlah besar, pada medio 2018. “Kemudian juga melihat pada perspektif ekonomi masyarakat di Bangka Belitung yang masih menggantungkan mata pencaharian pada sektor Tambang PT Timah berusaha untuk membuat pola dimana dapat membantu isu ekonomi dan sosial masyarakat Babel khususnya,” kata Anggi saat dikonfirmasi via pesan WA (WhatsApp), Minggu (12/7/20).
Untuk itu lanjut Anggi, perusahaan membuka diri dengan dapat melakukan pola kemitraan kerjasama, dimana juga diatur dalam regulasi.
“Hal ini disambut dengan 5 perusahaan swasta yang mengajukan kemitraan dan kemudian bekerjasama dengan PT Timah. Kenapa demikian, dikarenakan pola kemitraan ini dinilai menguntungkan bagi kedua belah pihak yang bekerjasama. Secara historis disampaikan bahwa PT Timah sejak awal membuka diri untuk melakukan pola kemitraan namun juga dengan melihat aspek ekonomisnya ketika melihat kondisi harga dan pasar timah dunia,” timpalnya.
Lalu bagaimana dengan posisi keuangan PT Timah yang saat ini justru terus merugi? Apakah bukan disebabkan pola kemitraan PT Timah dengan 5 Smelter seperti informasi yang beredar?
Dikatakan Anggi, jika terkait posisi keuangan perusahaan tentu tidak disebabkan oleh pola kemitraan. Sebagaimana sudah disampaikan di beberapa kesempatan, bahwa isu Perang dagang antara Amerika dan China yang mewarnai hampir separuh tahun 2019 menjadi salah satu faktor tertekannya harga timah dipasar dunia.
Selama tahun 2019, harga logam timah dunia yang tercatat di London Metal Exchange (LME) Mengalami penurunan signifikan. Tercatat pada medio awal 2019 harga timah dunia menyentuh angka usd 22.000 per tonn kemudian terus terdegradasi hingga menyentuh kisaran usd 16.000 di akhir 2019.
“Selain perang dagang yang masih berlangsung hingga saat ini, isu pandemi Covid-19 Juga mempengaruhi harga logam timah dunia. Dimana pada awal tahun 2020 harga tetap melemah hingga menyentuh kisaran usd 13.250 per ton pada maret 2020,” terangnya.
Seperti diketahui, sejak 2018 lalu hingga saat ini terdapat 5 perusahaan smelter swasta yang menjalin kerjasama peleburan dengan PT Timah. Kelima perusahaan tersebut yakni PT Refined Bangka Tin (RBT), CV Venus Inti Perkasa (VIP), PT Sariwiguna Bina Sentosa (SBS), PT Tinindo Inti Perkasa dan PT DS. Jaya Abadi/ Stania.
Sebagai mitra PT Timah maka kelima perusahaan ini bekerja sama melebur pasir timah yang hanya berasal dari IUP milik PT Timah Tbk. Hingga berita ini diturunkan, Forumkeadilanbabel.com, masih mengupayakan konfirmasi ke 5 Smelter mitra PT Timah. (doni)