Beritamusi.co.id – Di era serba digital penggunaan internet sudah menjadi suatu keharusan bagi setiap masyarakat dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Sudah hal tabuh jika kita bisa mendapatkan informasi dengan mudah di berbagai baik itu di bidang seperti ekonomi, sosial, potik, pendidikan, hiburan dan lain sebagainya. Berdasarkan survei APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) jumlah penduduk terkoneksi internet 2021-2022 berjumalah 210 juta jiwa dari total jumlah populasi 272,7 juta penduduk Indonesia tahun 2021. Jumlah pengguna internet di Indonesia terus mengalami peningkatan yang signifikan, saat ini jumlah pengguna internet nasional tahun 2021-2022 sudah melonjak sebesar 77,02 persen, naik sekitar 4 persen dibanding tahun 2019-2020 sebesar 73,70 persen. (Survei APJII 2022)
Meningkatnya pengguna Internet, seolah-olah menjadikan internet dewa penolong masyarakat dalam berbagai hal, bisa membantu mempermudah pekerjaan, membantu jika tidak mengetahui sesuatu, bahkan kasus-kasus apapun jika telah viral (terkenal) di media akan segera ditindaklanjutin prosesnya hingga selesai. Selain itu juga, kita dengan mudah memperoleh sesuatu yang kita inginkan, misalnya kita ingin mencari tahu presiden pertama Indonesia, dengan mudah internet akan memberikan jawaban atas pertanyaan yang kita berikan. Bagaimana tidak, jika masyarakat beranggapan internet merupakan solusi yang sangat ampuh dalam menyelesaikan permasalahan mereka.
kemajuan media digital ini membuka ruang dan kesempatan bagi pemilik modal untuk memanfaatkan media sebagai wadah memperkuat kekuasaan dan kekayaan dengan memonopoli berbagai informasi untuk kepentingan politik para pemilik semua media dan oligarki. Media internet ataupun media digital memiliki kuasa yang besar mengenai kontrol atau pemberian informasi kepada publik. Menurut Ross Taspel (2019) dalam bukunya yang berjudul Kuasa Media di Indonesia (Kaum Ologarki, Warga dan Revolusi Digital) mengatakan bahwa pemerintah berupaya untuk melakukan kontrol terhadap media melalui regulasi yang diterbitkan, padahal pada dasarya kepentingan penguasa nampak jelas ditujukan oleh pemilik media. Selain melahirkan kekuasaan para pemilik media (konglomerasi), para pemodal media ini juga sudah menguasai infrastruktur dan resource yang tidak hanya pada satu media, tapi juga bertambah seperti, surat kabar, media online, dan radio.
Penguasa-penguasa media (oligopoli) yang terkooptasi oleh elit politik bisa mengancam tugas mulia media sebagai pemegang kepentingan publik. Dalam hal kuasa media, Ross Tapsell (2019) dalam penelitiaannya terhadap media massa di Indonesia menyimpulkan bahwa menguatnya konglomerasi, kekuasaan para pemilik media, serta cara pengelolaan perusahaan yang semakin menyerupai dinasti telah memperparah pemberitaan yang semakin partisan. Kondisi ini memiliki dampak signifikan terhadap lanskap media yang seharusnya beragam, tidak memihak, dan informatif di salah satu negara demokrasi tersebasar di dunia (Tapsell, 2019:179). Menurut Robert McChesney (Hariyadi, 2018) dalam Rich Media, Poor Democracy, mengatakan “the wealthier and more powerful the corporate media giants have become, the poores the prospects for participatory democracy”. Kritikan McChesney memandang bahwa oligopoli kepemilikan media massa membawa kemunduran bagi ruang demokrasi sebuah bangsa. Semakin kaya korporasi media massa, semakin miskin demokrasi kita.
Hal ini terlihat dalam rangkaian dukungan terhadap calon presiden, Abu Rizal Bakrie pemilik Bakrie Group mendukung Probowo, dan Surya Paloh pemilik Media Group mendukung Joko Widodo dan di tahun 2022 Surya Paloh telah mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai calon presiden. Yang tentunya diikuti oleh dukungan alat-alat media yang mereka miliki. Terlebih lagi kedua pemilik media tersebut tidak hanya pemilik media tetapi juga politikus yang terlibat secara langsung dalam politik praktis. Serta merapatnya media-media lain ke dalam gerbong dukungan politik kedua belah pihak. Dari kenyataan ini terbukti bahwa esensi media yang paling prinsipil tercambik diantara kepentingan ekonomi maupun politik dari elit media dan politik (Puji, 2019).
Akibat dari konglemerasi media yang dimiliki oleh para oligarki, munculnya media alternatif untuk melawannya. Media alternatif yang di maksud adalah media yang tanpa intensi untuk menjadi komersil. Tapsel membagi dua kategori media alternatif yakni media non oligarki dan media kontra oligarki. Pembagian ini terjadi karena sering sekali media alternatif non oligarki akhirnya dibeli oleh konglomerat digital karena gagal mencapai kestabilan finansial. Sedangkan media alternatif kontra oligarki adalah media yang berhubungan dengan kepemilikan pribadi seperti, FB, Twitter, Ig, Youtube, dll. Media altenatif kontra oligarki ini juga bisa dikuasi oleh pemilik modal dengan cara memakai influencer untuk melakukan sesuatu sesuai dengan tujuannya ataupun bisa menyewa buzzer untuk memviralkan hastag (#) dalam menyebarkan informasi, ditambahlagi sekarang dipengaruhi oleh perjalanan algoritma/filter bubble sehingga berdampak pada pengkotak-kotakkan perilaku.
Fenomena filter bubble ini pertama kali dikemukakan oleh Eli Pariser, seorang aktivis internet dan penulis buku. Ia mengemukakan gagasan ini pada sebuah seminar TEDTalks yang diselenggarakan di California pada tahun 2011 dan mengatakan bahwa filter bubble adalah “dunia informasi milik setiap orang, yang unik dan bergantung bagaimana perilaku orang tersebut di Internet” (Pariser, 2011). Filter bubble mengurung individu dalam rumahnya sendiri, sedangkan demokrasi menghendaki agar individu bersedia melihat sudut pandang orang lain. Akan tetapi media sosial justru membuat individu makin terperangkap dalam gelembungnya masing-masing. Pernahkah anda berpikir semakin kesini internet selalu menyediakan hal apa saja yang sering anda lihat, seakan-akan memahami apa yang kita butuhkan.
Selain itu juga, beranda ataupun ekplore di berbagai media sosial selalu menunjukkan dan memperlihatkan sesuatu hal yang sering kita lihat dan kita sukai, termasuk pemberitaan juga, berita yang sering muncul di adalah pemberitaan yang sering kita lihat. Contohnya seperti ini, misal anda seorang pendukung Prabowo, maka anda akan lebih suka membuka artikel yang isinya memuji Prabowo, membaca dan re-share segala prestasinya Prabowo yang dibagikan dari postingan teman-teman, serta mengcounter kiriman dari pendukung oposisi. Perilaku ini akan dibaca filter buble (algoritma) dan nantinya akan menjadi faktor apa yang akan di tampilkan dalam news feed anda, sehingga isi dari newsfeed di home tidak jauh-jauh dari dukungan terhadap Prabowo dan citra negatif dari pendukung oposisi, begitupun sebaliknya.
Terlebih lagi menjelang Pemilu, media massa mempunyai peran penting dalam membuat personal branding ataupun penggiringan isu dari masing-masing kandidat. Pemberitaan yang muncul baik itu di media digital, media online, ataupu media sosial sangat mempengaruhi penilaian pendengar/pembaca. Seperti yang diketahui media digital seperti televisi sudah tidak semasif dulu pengaruhnya, sehingga membuat media-media online bahkan media sosial memberikan peran yang sangat luar biasa dalam penggiringan isu. Cepatnya sumber informasi yang didapatkan dan pengaruhnya filter bubble mengharuskan kita agar lebih selektif dalam melihat, menyukai, ataupun membagikan apapun yang kita lihat serta harus lebih bijak dalam berperilaku terutama dalam menerima informasi.
Referensi
Gazali, Efendi. 2004. Interaksi Politik dan Media: Dari Komunikasi Politik ke Politik Komunikasi, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Indonesia.
Laksono, Puji. 2019. Kuasa Media dalam Komunikasi Politik, Jurnal Al-Tsiqoh (Dakwah dan Ekonomi). Institut Pesantren KH. Abdul Chalim
Pariser, Eli. 2011. The Filter Bubble: What The Internet Is Hiding From You. New York: Penguin UK.
Tapsell, Ross. 2019. Kuasa Media di Indonesia : Kaum Oligarki, Warga, dan Revolusi Digital. Serpong : CV. Marjin Kiri.
Mirnawati penulis adalah Mahasiswa Magister Ilmu Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta