PALEMBANG I Asosiasi Pengusaha Jasa Angkutan Truk (APJAT) Sumatera Selatan (Sumsel) menilai kebijakan pemerintah pusat yang ingin memberantas praktik pungutan liar (pungli) di jajaran pemerintahan, termasuk Sumsel terkesan seperti hangat-hangat tahi ayam. Pasalnya, pemberantasan praktik pungli ini tidak menyasar ke semua lini, baik di BUMN hingga sosial masyarakat.
“Intinya kami sangat mengapresiasi langkah Presiden Jokowi yang berkeinginan memberantas praktik pungli. Tapi sayang, action yang dilakukan bak peribahasa hangat-hangat tahi ayam. Sebab, kami anggap pemerintah tidak serius atau tidak bersungguh-sungguh ingin memberantas pungli. Paling usai action, satu hingga dua bulan ke depan budaya pungli kembali lagi,” kata Ketua APJAT Sumsel, H Chairuddin Yusuf, Senin (25/10).
Ketidakseriusan pemerintah dalam memberantas praktik pungli terlihat masih adanya ulah oknum pegawai BUMN melakukan praktik pungli, terutama terjadi di Pertamina, PLN hingga Pupuk Sriwidjaja (Pusri).
“Tiap kendaraan ekspedisi yang akan melakukan pengiriman barang milik BUMN masuk ke area perusahaan selalu diminta oknum keamanan sejumlah uang. Belum lagi oknum operator, gudang dan lainnya. Maksimal uang yang disediakan sekitar Rp500.000. Harusnya ada tim supervisi perusahaan yang mengawal guna menghindari pungli,” tegasnya.
Selain itu, praktik pungli juga masih terjadi di jalanan yang dilakukan sekelompok orang tertentu seperti di arah Lingkar Luar Prabumulih, titik jalan arah Keramasan Palembang, arah Jalintim OKI hingga Lampung.
“Belum lagi ulah sekelompok premanisme yang meminta uang di Lingkar Luar Prabumulih. Beberapa waktu lalu, pernah anggota brimob yang membersihkan sekelompok preman. Namun sepekan kemudian, sekelompok preman berulah lagi. Kalau sopir didampingi pengamanan anggota justru akan lebih aman. Polres setempat juga jangan tutup mata melihat kondisi demikian. Tentu, kamtibmas di Lingkar Luar Prabumulih harus lebih ditingkatkan dengan memberantas premanisme,” tuturnya.
Dia melanjutkan selama ini aksi oknum petugas melakukan pungutan dianggap menyalahi aturan dan itu disebut sebagai pungli. Sebab keberadaan Pos Jembatan Timbang seperti Pematang Panggang OKI harus berfungsi sebagai tempat untuk menimbang muatan, bukan melakukan pungli. Bahkan kalaupun kelebihan muatan, didasarkan atas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 134/2015 tentang Penyelenggaraan Penimbangan Kendaraan Bermotor di Jalan tidak menyebutkan besaran denda yang harus dikeluarkan.
“Untuk perjalanan PP Palembang-Jakarta-Palembang saja, kami harus menyiapkan uang dari Rp1,5juta hingga Rp2juta untuk membayar pungli. Pungutan paling mahal hanya terjadi di Pos Jembatan Timbang Pematang Panggang, Kabupaten OKI capai Rp800.000. Selebihnya untuk membayar pungutan di Pos Timbangan Sayur Mesuji, Pos Timbangan Lampung, terminal Kayuagung, Palembang, dan lainnya,” jelasnya.
Kendati demikian, kebijakan pemerintah ingin memberantas pungli mendapatkan tanggapan positif dari kalangan pengusaha ekspedisi. Sebab, pemberantasan pungli mampu menekan cost yang dikeluarkan pengusaha capai 20%. Ini terbukti telah ditutupnya operasional Pos Timbangan Pematang Panggang belum lama ini. “Pastinya saat ini kami mengapresiasi langkah pemerintah memberantas praktik pungli. Namun alangkah baiknya pemberantasan pungli dilakukan diseluruh lini sektor,” ucap Acong, sapaan akrabnya. (Romi)