Nasional

Ancaman PHK Masih Menghantui Serikat Pekerja

203
mayday
Buruh berunjuk rasa dengan long march menuju Istana Merdeka, Jakarta, Sabtu, 6 Februari 2016. Mereka menuntut Presiden Jokowi mencabut PP No 78/2015 tentang Pengupahan yang dinilai merugikan buruh. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)

JAKARTA I Larangan berserikat bagi kaum buruh masih terjadi di beberapa perusahaan. Intimidasi kerap membayangi buruh yang berani berserikat dan melakukan pemogokan. Beragam ancaman diberikan perusahaan, mulai dari mutasi hingga pemutusan hubungan kerja.

Ketua Umum Federasi Buruh Transportasi Pelabuhan Indonesia Ilhamsyah mengatakan, anggotanya tak jarang mengalami intimidasi. Salah satunya terjadi di PT Blue Steel, KBN Marunda, Jakarta Utara.

Di pabrik penghasil baja ringan itu, sejumlah pekerja membentuk serikat buruh. Menurut Ilhamsyah, mereka baru belajar membangun organisasi. Namun perusahaan tersebut berkehendak lain.

“Mereka dipanggil pihak managemen, dikasih pilihan mau tetap bekerja di sini atau keluar dari serikat,” kata Ilhamsyah menceritakan nasib anggotanya, di Sekretariat FBTPI, Tanjung Priok, Jakarta Utara, Jumat (29/4).

Para buruh tak gentar dengan pilihan itu. Mereka menyatakan masih ingin bekerja di tempat itu dan tetap berserikat. Besoknya, sebanyak 17 orang yang menjadi anggota serikat diusir oleh pihak perusahaan. Mereka tidak boleh masuk kerja hingga sekarang. “Rabu (4/5) nanti kami mau aksi di sana,” katanya.

Kondisi tak jauh berbeda dengan sejumlah buruh di PT SPIL, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Di perusahaan pelayaran itu, kata Ilhamsyah, terjadi pelanggaran hak normatif.

Pihak perusahaan hanya membayar biaya lembur sebesar Rp2000 per jam. Selain itu para buruh dipaksa membubarkan serikat. Para pengurus serikat pun dikenakan mutasi  ke sejumlah kota, seperti Kalimantan dan Surabaya.

“Padahal dalam undang-undang, perusahaan dilarang melakukan intimidasi kepada pekerja atau buruh yang berserikat. Bentuk intimidasi itu mulai dari PHK, mutasi,” ujarnya.

Perusahaan bersikeras. Beberapa kali perundingan tidak menemukan titik temu. Buruh kemudian melakukan pemogokan atas pelanggaran hak normatif yang dilakukan perusahaan. Namun aksi mogok itu direspons perusahaan dengan pemutusan hubungan kerja terhadap 85 orang buruh.

“Hak mogok diatur dalam undang-undang, apabila perundingan di pabrik buntu, buruh boleh melakukan pemogokan,” ujarnya.

Kasus tersebut diusut ke pengadilan hingga akhirnya diputuskan PHK dengan pembayaran pesangon.

Kemenangan Kecil

Perjuangan buruh yang berserikat bukan tanpa hasil. Sejumlah anggota FBTPI yang menyebar di enam perusahaan kini bernasib baik. Mereka memperoleh standar upah minimum. buruh yang bekerja melebihi delapan jam, diberi uang lembur.

“Mayoritas upah mereka dulu di bawah UMP, waktu kerja mereka 12 jam tanpa dibayar lembur,” kata Ilhamsyah.

Perusahaan juga mendaftarkan buruhnya dalam program BPJS kesehatan dan ketenagakerjaan. Banyak pula pekerja yang statusnya diubah dari kontrak menjadi karyawan tetap.

“Standar minimum atau aturan normatif sudah dijalankan perusahaan,” ujarnya.

Saat ini mereka mendesak Pelindo agar seluruh perusahaan bongkar muat (PBM) menerapkan standar kesehatan dan keselamatan kerja (K3). PBM telah menerapkan tiga shift kerja. Buruh bekerja selama delapan jam.

“Sekarang Pelindo juga menekan kepada PBM-PBM, tidak boleh lagi ada perusahaan yang mempekerjakan hanya dua shift, karena ini jenis pelayanan 24 jam,” ujarnya.

Sebelumnya, hari minggu mereka bekerja, 24 jam, upah di bawah standar, lembur tidak dibayar, jaminan keselamatan kerja tidak ada.

“Capaian kemenenang kecil itu sebagai penambah semangat dan keyakinan bahwa dengan bersatu dan berorganisasi, sesuatu yang sebelumnya tidak mungkin akan menjadi mungkin kita wujudkan,” katanya.(CNN)

Exit mobile version