Peneliti biologi laut mengatakan di masa depan, ada indikasi eksploitasi laut seiring makin sulitnya pangan di darat. Sementara ada puluhan jenis satwa laut yang terancam punah.
Prediksi ini mulai terlihat saat pandemi COVID-19 kali ini. Mulai ada aktivitas perusakan habitat seperti pengeboman ikan dan perdagangan penyu.
Kementerian kelautan dan Perikanan (KKP), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan Wildlife Conservation Society (WCS) Indonesia menghelat seminar daring “Konservasi Ikan Terancam Punah di Indonesia” pada 14 Juli 2020. Dipandu presenter Riyani Djangkaru dibuka oleh Dirjen Pengelolaan Ruang Laut (PRL) KKP, dan pembahas adalah Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati (KKHL) KKP, Kepala P2B LIPI, Direktur WCS, dan Direktur Yayasan Alam Indonesia/LINI.
Aryo Hanggono, Dirjen PRL KKP kembali mewacanakan Nawacitta program kelautan Presiden Joko Widodo dan keyakinan bahwa laut adalah masa depan bangsa. Ikan terancam punah ini meliputi indikator seperti adanya penurunan di alam dan kemampuan reproduksi rendah. Pihaknya sedang menyusun buku rekomendasi ikan terancam punah.
Direktur KKHL KKP, Andi Rusandi menjelaskan jenis ikan prioritas konservasi pada 2019 ada 20 jenis yakni penyu, pari manta, karang keras, napoleon, hiu paus, terubuk, duyung, bambu laut, hiu martil, kuda laut, sidat, banggai cardinal fish (BCF), cetacean paus dan lumba-lumba, labi-labi, arwana, lola, kima, teripang, mola-mola, dan pari mobula.
Selanjutnya pada 2020-2024 yang masuk spesies prioritas perlindungan juga 20 dengan sedikit perubahan seperti pari dan hiu yang masuk Appendix CITES, karang hias, sidat, duyung, BCF, hiu paus, arwana, belida, penyu, kuda laut, teripang, ikan endemik danau purba, bambu laut dan akar bahar, terubuk, napoleon, pari manta, cetacean, kima dan lola.
Indikator lain adalah kepadatan populasi kecil, pertumbuhan lambat, dan endemik atau hanya ada di Indonesia. “Terjadi penurunan jumlah individu, populasi turun, tangkapan berkurang dengan alat yang sama,” urainya. Ada 308 spesies yang direkomendasi peneliti LIPI sebagai terancam punah untuk mendorong rencana aksi konservasinya.
Alat untuk menilai efektivitas aksi ini, menggunakan skala yakni level perunggu, perak, dan emas. Termasuk perunggu jika data tersedia dan memiliki status pelindungan. Kemudian perak jika tersedia dokumen pengelolaan/RAN. Kemudian level ideal yakni emas jika sudah ada penyusunan SOP, sosialisasi/bimtek, perlindungan habitat penting, monitoring populasi, implementasi pengawasan, populasi terjaga, dan manfaat ekonomi bagi masyarakat.
Status emas pada 2019 adalah penyu, hiu paus, pari manta, karang keras, napoleon, terubuk, dugong, dan bambu laut. Pencapaian sampai emas ini dinilai paling ideal.
Atit Kanti, peneliti LIPI mengingatkan, kepunahan sejumlah spesies ini terjadi akibat manusia lah yang paling menentukan. “Sumber laut akan dieksploitasi besar-besaran. Perubahan ekosistem seperti di Papua, dan keanekaragaman genetik baru dipelajari. Tak hanya jenis juga esensi genetik,” sebut perempuan peneliti biologi ini. Pembalakan hutan di Kalimantan dan Sumatera juga berpengaruh di perairan.
Kontras dengan fakta bahwa daerah dengan hasil riset kemungkinan eksplorasi jenis baru satwa di Indonesia adalah kawasan hutan seperti Papua Barat, Sulawesi Utara, dan Jawa Barat. Namun ironisnya penulisan hasil penelitiannya malah oleh negara non mega biodiversity seperti peneliti Jerman. Salah satu indikatornya jumlah paper ilmiah. Dari 308 spesies, terdapat 52 spesies yang sudah memiliki status perlindungan penuh dan 4 spesies perlindungan terbatas.
Ikan adalah salah satu primadona penelitian karena dari sekitar 34 ribu, hampir 5000 jenis ada di Indonesia. Ada 2200-an jenis ikan terancam punah di dunia. Ancaman untuk kelompok hewan bertulang belakang adalah eksploitasi pertanian dan polusi. Dari jumlah itu, secara global terancam punah 137 jenis (13%), dan sekitar 3% di Indonesia. Satwa liar kebanyakan yang terancam punah adalah hewan bertulang belakang. Jenis udang sebanyak 14 dan moluska 26.
Gayatri Reksodihardjo-Lilley dari Yayasan Alam Lestari atau LINI membagi pengalamannya untuk upaya konservasi salah satu jenis yang masuk dalam prioritas yakni ikan banggai cardinal fish (BCF). Ikan endemik dengan sebaran di Kepulauan Banggai. Sebaran alaminya diperkirakan hanya sekitar 23 km2 dari riset Vagelli pada 2015.
Ia sendiri kaget kenapa pada 1997 BCF masuk Apendix CITES. Kemudian pada 2007 baru mulai dibuat aksi-aksi perlindungannya.
Kabupaten Banggai di Sulawesi Tengah adalah lokasi dimulainya tahapan rencana aksi nasional konservasi. Peneliti Amerika, Vagelli menulis pada 2007, habitat terpadatnya di sekitar 50 km persegi. Kemudian pada 2015 tinggal 23 km persegi, dengan hasil survei populasi 1,4 juta ekor.
Selain penurunan populasi, proses reproduksi ikan Banggai ini juga unik. Hidup sekitar 2-3 tahun, ukuran dewasanya 80 mm, dan jantan mengerami telur yang dibuahi dalam mulutnya. Sampai menetas sekitar 28 hari, dan lahir bayi-bayi BCF. “Diperkirakan, selama mengerami, dewasa jantan ini tak makan, luar biasa sangat melindungi bayi dan keturanannya,” jelas Gayatri.
Habitatnya banyak ditemukan sekitar bulu babi untuk perlindungan dan menghindari kemungkinan dimangsa termasuk dari pejantannya yang kelaparan. Populasi BCF menurun dan kepunahan lokal di sejumlah sebaran aslinya. Sebelum ada kawasan konservasi, BCF disepakati tak boleh diambil di daerah aslinya, kepulauan Banggai. Terjadi juga penurunan kualitas habitat, karena mikrohabitatnya yakni bulu babi kerap diambil terutama telurnya.
Pihaknya bantu nelayan merancang taman BCF dan monitoring. Juga restorasi terumbu karang dan pelatihan budidaya BCF untuk mengurangi pengambilan di alam.
Pengalaman menarik lainnya dibagi oleh Noviar Andayani, Country Director WCS Indonesia dan dosen biologi Universitas Indonesia terkait perlindungan pari dan hiu. Dari 1250 jenis pari dan hiu di dunia, 218 ada di Indonesia. Diperkirakan 25 jenis endemik. Namun Indonesia salah satu produsen hiu, selain itu ada eksploitasi berlebih semetara tingkat reproduksi hiu dan pari termasuk rendah.
Pari dan hiu jadi sumber protein hewani dan sumber penghasilan masayarakat pesisir. Karena itu pihaknya merancang konservasi dengan pendekatan perlindungan dan pemanfaatan berkelanjutan. Agar masyarakat bisa memanfaatkan taksa ini berkelanjutan.
Pengurangan penangkapan sampingan (by catch) dan mengubah alat tangkap jadi strategi selain sains kuat dan data jangka panjang. Misalnya menyiapkan data yang bisa diakses dari penelitian di lokasi penangkapan hiu Tanjung Luar Lombok dan Aceh. Data tangkapan ini untuk estimasi stok dan populasi di alam. Hal yang dikaji adalah tingkat konsumsi domestik, dan perdagangan produk hiu dan pari. Salah satu tantangannya adalah kemampuan identifikasi hiu dan pari untuk memastikan jenisnya.
Bentuk hiu yang sulit diidentifikasi bisa dilakukan dengan DNA. Produk hiu dan pari yang diperdagangkan jugaberagam, seperti sirip kering, olahan, minyak hati, tulang beku.
Jumlah dan ukuran hiu lanjaman pada 2015-2016 disebut meningkat dan makin besar. Ini hal positif, dugaannya karena dampak Permen KP yang melarang kapal tak berizin beroperasi di Indonesia, dan pulihnya populasi hiu lanjaman di Samudera Hindia bagian Timur. Hiu Lanjaman adalah dokumen NDF pertama di perlindungan hiu.
Karena berdampak pada nelayan, strategi lainnya adalah mendorong sumber penghasilan alternatif dan diversifikasi ekonomi. Misalnya pengembangan wisata melihat hiu di Pantai Pink, NTB dengan tur dan suvenir. Istri nelayan dan anak buah kapal juga dilatih mengolah produk olahan perikanan seperti abon, kerupuk, dan terasi. (sumber:Mongabay.co.id)