JAKARTA – Tiga saksi ahli hadir untuk dimintai keterangannya pada persidangan Eks Kepala Dinas ESDM Babel, yaitu Suranto Wibowo dan Amir Syahbana, dalam dakwaannya terdakwa diduga terlibat tindak pidana korupsi, tata niaga komoditas timah, yang merugikan negara hingga Rp300 triliun.
Para saksi ahli yang hadir yaitu Dr Mudzakir (ahli hukum pidana), Sudirman (Konsultan audit keuangan negara) dan Dr Herman, SH, M,Hum (ahli hukum administratif negara). Pada sidang yang digelar di Pengadilan Tipikor, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dengan Hakim Ketua Fajar Kusuma Aji, Rabu (6/11/2024), para saksi memberikan keterangannya sesuai keahlian yang dimiliki para saksi.
Mudzakir di persidangan menjelaskan terkait dengan kerugian dalam bidang lingkungan hidup dan kerugian akibat pertambangan, serta hubungan undang-undang tipikor dengan undang- undang lain yang menyangkut kasus pidana.
“Dalam undang-undang lingkungan hidup dan pertambangan tadi, masing-masing terdapat ketentuan sanksi pidana. Keduanya itu masuk sanksi pidana dalam lingkup hukum administrasi, katanya.
“Tindak pidana lain menjadi tindak pidana korupsi, apabila dalam undang-undang lain dinyatakan sebagai tindak pidana korupsi,” imbuh mudzakir.
Menurut Mudzakir terkait Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 UU Tipikor adalah merugikan keuangan negara bukan merugikan negara. Penyidik harus bisa membuktikan terlebih dahulu kerugian keuangan negara melalui Audit Investigasi dan bukti penyalahgunaan wewenang.
“Domainnya sudah berbeda, kerugian negara itu sangat luas sekali dibandingkan dengan merugikan keuangan negara. Maka dalam unsur tindak pidana merugikan keuangan negara, itu yang harus dibuktikan. Kalau ditambahkan yang lain-lainnya itu tidak masuk dalamnya, berarti tidak dapat dikualifikasi sebagai kerugian negara,” jelasnya.
Terkait penerbitan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB), Mudzakir mengatakan, bila RKAB PT Timah berkaitan langsung dengan pusat, dalam hal ini Kementrian ESDM. Sementara bila Pt Timah melakukan Kerjasama denga pihak perusahaan swasta, maka tidak ada hubungannya dengan RKAB yang diterbitkan dengan pemerintah daerah.
“Biasanya RKAB yang dikeluarkan pemerintah daerah berkaitan dengan ijin yang dikeluarkan lokasi sebelumnya,” tuturnya.
Sementara menurut JPU Sigit Sambodo mengatakan bahwa bukan hanya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang memeriksa kerugian keuangan negara, tetapi juga BPKP, inspektorat hingga Mahkamah Agung.
“Ada hal tertentu hakim dapat melihat kerugian keuangan negara, untuk dapat hakim mengakomodir audit lainnya. Apakah relevan menurut ahli hanya BPK saja yang berhak menentukan kerugian negara di persidangan,” tanya Sigit.
Mudzakir menjawab dasarnya adalah UUD 45, BPK RI dan Undang-undang Perbendaharaan Negara.
“Ahli hanya mengutip pasal undang-undang, ahli menjelaskan yang lahir dari konstitusi. Sedangkan yang lain lahir dari Perpres, itu lebih tinggi mana, tentunya lebih tinggi yang lahir dari konstitusi,” jawab Mudzakir.
Sementara Sudirman dalam keterangannya menyebutkan bahwa tidak ada audit kerugian lingkungan, melainkan audit kerugian negara. Terkait methode audit kerugian negara adalah methode penghitungan. Sementara RKAB tidak bisa diaudit sebagai kerugian negara. Dalam hasil audit kerugian negara harus menyertakan dokumen catatan bukti kerugian negara.
“Didalam RKAB terdapat realisasi tahun sebelumnya, kalau mau diaudit harus melalui audit investigasi. RKAB yang diterbitkan oleh dinas, hubungannya hanya di IUP saja. Bila ada korupsi di IUP B maka tidak ada hubungannya di IUP A. RKAB bukan dokumen catatan audit kerugian negara,” katanya.
Herman lebih lanjut juga menerangkan terkait RKAB dalam pandangannya sebagai ahli hukum administratif negara. Menurutnya semua pejabat administrasi negara, tentu harus bertanggung jawab secara hukum.
“Pejabat administrasi negara bukan bertindak atas dirinya sendiri, tetapi bertindak atas nama jabatan yang disebut dengan pemerintah, sesuai dengan tujuan manfaat dan fungsi publik,” katan