Berita Daerah

Tolak Tambang Sungai Ilegal, Tiga Warga Sidrap Malah Dikriminalisasi

173
Sungai-Bila-03
  • Tiga warga Desa Bila Riase, Kecamatan Pitu Riase, Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan yang berjuang menolak penambangan di Sungai Bila dihadapkan ke pengadilan dengan tuduhan pencemaran nama baik dan pengancaman.
  • Video Aryono yang diviralkan Andi Kengkeng di media sosial terkait aktivitas penambangan dianggap sebagai pencemaran nama baik, sementara penambangan itu sendiri dianggap melanggar aturan dan tidak berizin
  • PBHI Sulsel menilai penetapan atas ketiga aktivis tersebut bertentangan dengan prinsip dasar perlindungan hak asasi manusia dan hak atas lingkungan hidup sesuai Pasal 66 UU No.32/2009 tentang PPLH.
  • WALHI Sulsel menilai tuntutan hukum atas ketiga aktivis tersebut adalah sebuah bentuk kriminalisasi terhadap masyarakat yang proaktif menolak kegiatan tambang pasir Sungai Bila yang telah jelas merusak lingkungan dan mempengaruhi kehidupan masyarakat setempat.

Andi Tenri Siangka alias Andi Kengkeng (47) hanya bisa berpasrah. Warga Desa Bila Riase, Kecamatan Pitu Riase, Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap), Sulawesi Selatan ini, bersama dua rekannya yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Peduli Sungai Bila (AMPSB), Andi Dude (45) dan Aryono (24) dihadapkan ke meja hijau dengan dugaan kasus pelanggaran informasi dan transaksi elektronik (ITE) karena membagikan video perihal aktivitas tambang di Sungai Bila pada akun Facebook-nya dan dugaan pengancaman kepada salah satu penambang.

“Kemarin kami sudah sidang perdana di pengadilan untuk penyampaian tuntutan. Sidang kedua akan dilanjutkan minggu depan,” ungkap Andi Kengkeng kepada MongabayJumat (12/2/2021).

Meski pasrah terhadap tuntutan, namun ia merasa banyak kejanggalan pada kasus tersebut, karena laporan atas perlakuan buruk atas dirinya Agustus 2020 lalu justru sampai sekarang belum diproses.

“Pada 7 Agustus 2020 lalu dihadapan banyak orang termasuk Wakil Bupati, muka saya diludahi oleh salah seorang penambang. Sudah saya laporkan namun belum ada perkembangan sampai sekarang. Sementara kasus ini (pelanggaran ITE) sangat cepat diproses. Seandainya laporan ini (peristiwa diludahi) diproses, maka kejadian tanggal 22 Agustus dan 27 Oktober 2020 itu mungkin bisa diantisipasi,” katanya.

Aksi warga Kecamatan Pitu Riase, Sidrap, Sulsel yang menolak aktivitas tambang di Sungai BIla sudah dilakukan sejak 2014 karena berdampak pada sumber penghidupan mereka. Foto: AMPSB/Mongabay-Indonesia.

Kasus ini bermula ketika Aryono merekam aktivitas tambang PT. Egha di Desa Bila Riase, 22 Agustus 2020 lalu. Dalam video ini Aryono menarasikan bahwa terjadi aktivitas yang dilakukan oleh PT. Egha dengan pemilik bernama Haji Ucu dengan sedikit umpatan ‘penambang telaco’ di akhir video. Kata ‘telaco’ sendiri adalah kata umpatan yang biasa digunakan masyarakat Bugis.

Video ini kemudian dikirim ke Andi Kengkeng melalui aplikasi whatsapp, yang kemudian menyebarkannya ke Facebook. Andi Kengkeng berdalih penyebaran konten video itu dilakukan karena telah sejalan dengan hasil rapat Forkopimda (forum komunikasi pimpinan daerah) yang melarang adanya aktivitas penambangan di Sungai Bila.

Kasus kedua terkait tuduhan pengancaman yang dilakukan Andi Kengkeng dan Andi Dude kepada Haji Ucu pada 27 Agustus 2020. Pada saat itu Andi Kengkeng mendatangi kediaman Haji Ucu membawa parang. Andi Dude yang datang belakangan bermaksud melerai karena kedua belah pihak sudah memegang senjata tajam.

Andi Kengkeng berdalih kedatangannya ke rumah Haji Ucu terkait ancaman yang diterimanya dari Haji Ucu via telepon sehari sebelumnya, yang mengajak ‘duel’. Ancaman ini telah ia sampaikan ke Polsek setempat namun tidak ditindaklanjuti.

“Saya bersama keluarga malam itu sangat khawatir sampai-sampai tidur ditemani parang. Saya tidak ingin menjadi korban seperti kasus Salim Kancil yang dibunuh karena konflik dengan perusahaan. Saya mendatangi rumah Haji Ucu untuk menanyakan maksud ajakan duel itu, bawa parang hanya untuk jaga-jaga saja,” katanya.

Andi Kengkeng (depan) dan dua rekannya diajukan ke pengadilan karena aksi menolak tambang di Sungai Bila, Kabupaten Sidrap, Sulsel yang membuat kerusakan parah ekosistem sungai itu. Foto: AMPSB/Mongabay-Indonesia.

Kriminalisasi Aktivis

Menurut Syamsumarlin, Kepala Divisi Advokasi dan Bantuan Hukum PBHI wilayah Sulawesi Selatan, penetapan atas ketiga aktivis tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar penghormatan, perlindungan, pemenuhan dan pemajuan hak asasi manusia dan Pasal 66 Undang-undang No.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) yang menjamin setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata sebagaimana amanat Pasal 28H UUD NRI Tahun 1945.

“Seharusnya aparat penegak hukum justru menindaklanjuti laporan masyarakat dan segera melakukan penindakan tegas serta penegakan hukum yang fair dan transparan terkait kerusakan lingkungan akibat aktivitas penambangan di DAS Bila dan menghentikan upaya kriminalisasi terhadap masyarakat yang berjuang menolak upaya pengrusakan tersebut,” katanya, Jumat (12/2/2021).

Sementara menurut Arfiandi, staf Advokasi dan Kajian WALHI Sulawesi Selatan, tuntutan hukum atas ketiga aktivis tersebut adalah sebuah bentuk kriminalisasi terhadap masyarakat yang proaktif menolak kegiatan tambang pasir yang merusak lingkungan.

“Yang dilakukan Andi Kengkeng adalah luapan emosional terhadap kekesalan dan kekecewaannya terhadap aktivitas tambang pasir di Sungai Bila dan tidak patut dijerat Pasal UU ITE,” katanya.

Sungai Bila di Kecamatan Pitu Riase, Sidrap, Sulsel yang rusak berat karena dampak penambangan pasir dan telah direkomendasikan peninjauan izin oleh Balai Besar Sungai Pompengan dan Jeneberang pada 11 Januari 2021 lalu. Foto: AMPSB/Mongabay-Indonesia.

Penutupan Penambangan

Aktivitas penambangan material sungai di Sungai Bila sendiri sudah dimulai sejak 2008 silam dan masih berlangsung hingga sekarang meski sudah mulai berkurang. Pada tahun 2014, warga Desa Bila Riase pernah mengadukan aktivitas ini ke Kepala Desa Bila Riase, Camat Pitu Riase hingga ke Polsek Pitu Riase.

“Masyarakat menilai kegiatan tambang yang dilakukan oleh 7 pemilik tambang telah berada di luar batas yang telah ditentukan, bahkan pada tahun 2015 hingga akhir Juli 2018 penambangan dilakukan tanpa dilengkapi dokumen perizinan dari pemerintah provinsi Sulsel,” ungkap Arfiandi.

Pada Oktober 2018, terbit SK Bupati Sidrap memerintahkan penutupan aktivitas tambang dan kewajiban reklamasi serta penggantian ganti rugi lahan masyarakat yang rusak akibat aktivitas tambang. Termasuk permintaan kepada pihak Polres Sidrap untuk memproses hukum atas pengrusakan lingkungan yang dilakukan oleh CV. Egha, CV. Shinta Pratama, CV. Billboy dan UD. Ahmad.

Aktivitas penambangan sempat terhenti, namun pada 3 April 2020 penambangan dilakukan kembali oleh CV. Egha, CV Sumber Tani dan UD Ahmad. Bahkan dilakukan tepat di bawah Bendungan Bila, yang melanggar terhadap kewajiban pelaku tambang sesuai dengan SK Bupati Sidrap pada tahun 2018.

Menurut Arfiandi penolakan atas penambangan tersebut dilakukan karena memang merusak sungai sedemikian parah. Kedalaman sungai meningkat secara bervariasi yang mengubah aliran sungai sehingga berakibat terjadi longsor di bibir sungai. Sementara warga memanfaatkan lahannya yang berlokasi di bibir sungai sebagai lahan perkebunan.

Penambangan juga membuat kekeruhan air meningkat yang berdampak terhadap biota sungai seperti ikan yang sering ditangkap oleh warga untuk dikonsumsi, dalam hal ini mengakibatkan ekosistem sungai semakin tergerus.

“Bahkan terjadi perubahan bentang sungai akibat longsor yang diakibatkan oleh aktivitas pertambangan. Jalan tani yang dibangun oleh masyarakat melalui program PNPM Mandiri tahun 2004-2005 telah rusak karena aktivitas penambangan dan pengangkutan material,” jelas Arfiandi.

Bupati Sidenreng Rappang, H Dollah Mando (depan) turun langsung meninjau sejumlah lokasi tambang pasir dan batu di sepanjang Sungai Bila Kecamatan Pitu Riase, Kabupaten Sidrap, Sulsel, Rabu (20/2/2019). Foto : sidrapkab.go.id

Dampak lainnya, menyebabkan udara kotor berupa debu yang dihirup oleh masyarakat karena mobilitas angkutan material tambang yang cukup tinggi. Selain itu, bendungan Bila terancam rusak akibat terkikisnya tanggul yang berada di bawah bendungan.

“Kebun milik sebagian masyarakat di sepanjang aliran sungai menyempit baik karena longsor maupun akibat ditambang. Sumur milik warga mengering akibat kedalaman sungai melebihi kedalaman sumur. Selain itu masyarakat tidak lagi memanfaatkan sungai untuk keperluan MCK akibat sungai keruh dan bibir sungai yang curam sedalam 5-7 meter dari permukaan air,” tambahnya.

Balai Sungai Besar Wilayah Pompengan dan Jeneberang sendiri pada 15 Januari 2021 telah memberikan hasil pemantauan dan rekomendasi untuk penghentian tambang tersebut karena dilakukan di luar titik yang ditentukan dan berdampak pada kerusakan sungai berskala luas.

Sungai Bila sendiri bermuara ke Danau Tempe, Kabupaten Wajo. Di sungai ini terdapat bendungan yang didirikan oleh pemerintah pusat pada tahun 1995. Aliran Sungai Bila di Desa Bila Riase juga merupakan sumber pengairan bagi aktivitas pertanian masyarakat mulai dari Kecamatan Pitu Riase hingga Kecamatan Maniang Pajo, Kabupaten Wajo.

Aliran sungai ini mampu mengairi sawah masyarakat seluas 7.488 Ha. Selain itu, sungai Bila merupakan sumber air bagi sekitar 16.500 orang warga setempat, serta area ikan air tawar yang selalu ditangkap oleh masyarakat untuk makan sehari-hari. (Mongabay.co.id)

Exit mobile version