pemkab muba pemkab muba
Ekonomi & Bisnis

Prajurit Berani dan Multiple Intelligence

200
×

Prajurit Berani dan Multiple Intelligence

Sebarkan artikel ini
Prajurit-Berani-dan-Multiple-Intelligence
pemkab muba pemkab muba

Prajurit Berani dan Multiple Intelligence

JAKARTA I Buka memory card dan ada foto dua ‘Prajurit’ berani, Muhlis dan Indra, yang sedang tersenyum ke arah kamera, mengenakan seragam warna merah. Mereka adalah dua dari tiga puluh murid saya, saat berkesempatan mengajar di SDN Puncakmanggu, Sukabumi. Desa terpencil yang sulit sinyal ini, terletak di atas perbukitan-perbukitan yang sangat indah.

Foto itu jadi foto favorit saya, karena diambil di tengah-tengah pelajaran kesenian bulan Januari 2015 lalu yang digunakan untuk persiapan penampilan pesta rakyat. Di ajang ini, setiap kelas menampilkan kreasi masing-masing. Kelas saya yang energinya di kenal tidak pernah padam, memutuskan untuk menyanyikan beberapa lagu.

Lucunya, ketika saya tanya pilihan lagunya di kelas, saya berekspektasi mereka hanya ingin menyanyikan lagu-lagu seperti Indonesia Raya atau Hymne Guru. Namun, mereka memilih menyanyikan lagu-lagu yang saya ajarkan untuk menghafal pengetahuan umum.

Untuk membuat pelajaran lebih menyenangkan, saya mencoba berbagai metode belajar di kelas. Melalui permainan, gambar, hingga mengubah beberapa lirik lagu populer menjadi nama-nama pulau, benua, hingga rumus matematika.

Mereka semangat sekali ketika bernyanyi. Bahkan, warga yang tinggal dekat dengan sekolah pun selalu tertawa mendengar mereka bernyayi dengan riang dan lantang setiap hari.

“Suara anak-anak nyanyi kedengeran waktu ibu lagi jemur baju, neng,” kata Ibu Cucun yang rumahnya persis di sebelah sekolah.

Bosan dengan menggambar dan melukis, hari itu dengan spontan saya membiarkan mereka memilih dua aktivitas sesuai dengan minatnya. Mereka dapat membuat bendera, topeng, atau kalung origami untuk atribut penampilan pesta rakyat.

Mungkin saya tidak dapat menuliskan cerita mereka masing-masing. Tetapi saya ingin bercerita tentang dua orang murid yang unik.

Pertama adalah Muhlis, murid saya yang tinggal di Citamiang. Rumahnya berjarak satu jam dari sekolah dengan tanjakan yang sepertinya tidak kunjung habis. Ia adalah anak yang tergolong pendiam. Tipe anak yang terlihat lebih suka membaca buku atau menggambar di kelas saat waktu istirahat.

Muhlis sering menghampiri saya untuk bertanya tentang hal paling umum sampai yang paling spontan. Biasanya, ia membawa ensiklopedia dari rumah pelangi (sebutan untuk ruang perpustakaan), dan bertanya-tanya sembari membalik setiap halamannya dengan semangat. Lucu rasanya melihat muka ceria Muhlis saat dipanggil maju ke depan pada upacara bendera karena ia berprestasi.

Berbeda dengan Indra (murid yang sedang senyum gigi di foto itu). Ia anak yang paling ceria, sekaligus paling cerewet di kelas. Heran, sepertinya energinya tidak pernah padam. Pagi hari sebelum bel sekolah berbunyi maupun saat istirahat, saya dapat menemukan Indra sedang berlari-lari di bukit sekolah, main sepak takraw, atau menjahili anak kelas dua dan tiga di rumah pelangi yang sedang belajar membaca.

Rumah Indra cukup jauh karena sudah berbeda bukit dengan lokasi sekolah. Indra seperti sumber energi kelas empat. Saat suasana kelas sudah bosan, biasanya saya meminta Indra memimpin ice breaking. Ia seperti seorang penyala.

Walaupun semangat dan keberanian mereka sama, Muhlis dan Indra sangat berbeda dari segi prestasi akademis dan kepribadian. Multiple intelligence berlaku. Di tahun 1983, Howard Gardner mencetuskan multiple intelligence theory yang membagi kecerdasan menjadi sembilan tipe. Setiap tipe juga memiliki teknik belajar yang berbeda. Maka, seorang anak dapat memiliki kecerdasan yang tinggi di beberapa bidang dan kekurangan di bidang lainnya.

Saya melihat visual-spacial dan linguistic intelligence yang dimiliki Muhlis, dan interpersonal dan bodily-kinesthetic intelligence yang dimiliki Indra. Itulah mengapa mereka hanya butuh pemicu-pemicu berupa teknik pembelajaran yang menyenangkan agar mereka dapat mengembangkan bidang kecerdasannya masing-masing.

IQ dan nilai yang mereka dapatkan di sekolah tidak menentukan kecerdasannya. Nilai memperlihatkan usaha yang mereka lakukan untuk mengerti pelajaran yang disampaikan.

Saya selalu percaya, setiap anak pada dasarnya pintar apabila ia telah menemukan bidang kecerdasannya. Menjadi tugas guru dan orang tua untuk membantu setiap anak menemukan dan mengembangkan minatnya.

Saat mengajar mereka selama satu bulan itu, saya sempat berpikir. Apa yang terjadi jika setiap anak Indonesia memiliki hari-hari yang sangat menyenangkan di sekolah setiap harinya?

Mungkin, mereka akan lebih berani untuk mengejar mimpi-mimpi mereka.

Teruntuk 30 prajurit berani SDN Puncakmanggu,

Jangan tenggelamkan mimpi-mimpimu. (CNN)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *