MAROS I Selama ini pengawas sekolah tidak dibekali bagaimana memantau tingkat kemajuan literasi di sekolah. Mereka lebih banyak dilatih memantau aspek-aspek pembelajaran dan manajemen sekolah. Aspek-aspek yang terkait bagaimana sekolah mengembangkan budaya baca tidak mendapatkan perhatian. “Literasi merupakan salah satu pondasi utama peningkatan kapasitas anak didik. Sekolah-sekolah ke depan harus berbasis literasi, artinya membaca dan menghasilkan karya menjadi dasar semua gerakan dan kegiatan sekolah,” ujar Jamaruddin, Koordinator Provinsi USAID PRIORITAS Sulawesi Selatan disela-sela kunjungannya ke Maros (25 Mei 2016).
Kunjungan tersebut untuk melihat 42 pengawas sekolah Kabupaten Maros praktik melakukan pemantuan kemajuan sekolah dasar dan menengah yang ada di Maros, setelah sehari sebelumnya menerima piloting project pelatihan modul baru USAID PRIORITAS khusus untuk peningkatan kualitas supervisi para pengawas sekolah.
Menurut Jamaruddin, sekolah penting didorong untuk berbasis literasi. “Secara agama, membaca adalah perintah Tuhan yang pertama,” ujarnya.
Karena sekolah idealnya berbasis literasi, para pengawas sebagai pembina dan tenaga monitoring dan evaluasi sekolah, menurut Jamar, semestinya tahu bagaimana menilai dan mendorong sekolah untuk bisa berbasis literasi. “Dengan pelatihan ini, selain berkaitan dengan pembelajaran dan manajemen sekolah, para pengawas dilatih memantau sekolah agar bisa berbasis literasi atau siswa terbiasa membaca dengan berbagai program yang rutin dan menarik,” ujar Jamaruddin.
Di lembar pemantauan budaya baca, para pengawas diminta untuk meninjau beberapa hal; apakah ada jadwal rutin membaca diluar membaca buku pelajaran? Apakah ada kegiatan yang mendorong anak menjadi berminat membaca, misalnya guru membaca dongeng? Adakah fasilitas sekolah yang mendekatkan siswa terhadap buku, misalnya sudut baca, taman baca dan lain-lain? Bagaimana peranan orang tua siswa dalam program membaca? Bagaimana sekolah menjamin ketersediaan buku? Apakah program budaya baca tercantum dalam perencanaan dan penganggaran sekolah? Apakah para guru dan pendidik lain sudah memberikan tauladan pada siswa dengan rajin membaca, dan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang mengidentifikasi kelemahan dan kekuatan sekolah supaya bisa berbasis literasi.
Jamaruddin berharap setelah pelatihan, seluruh pengawas di Maros yang telah dilatih benar-benar mengimplemtasikan ilmunya. “Setelah meninjau sekolah, dan melihat budaya bacanya kurang, mereka diharapkan memberi solusi, membinanya dengan baik. Ketika dilihatnya banyak kemajuan, mereka diharapkan bisa menyebarkan cara mencapai kemajuan tersebut ke sekolah lain,” ujarnya.
Indonesia merupakan salah satu negara yang paling rendah tingkat literasi di seluruh dunia. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Central Connecticut State University tahun 2016, Indonesia berada di nomor 60 dari 61 negara yang diteliti. “Berdasarkan penelitian itu, negara yang literasinya rendah, warganegaranya cenderung suka kekerasan dan melanggar hak orang lain, miskin, tidak cerdas dan kurang gizi,” tutup Jamaruddin. (Mustajib)