Nasional

Menerka Nasib Badan Intelijen di Tangan Jenderal Polri

97
138722f3-5566-4eee-8da3-11b5e469bc01_169
Dari masa ke masa, BIN hampir selalu ‘dikuasai’ TNI Angkatan Darat. Jika Komjen Budi Gunawan direstui DPR, ia menjadi polisi kedua yang memimpin BIN. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)

JAKARTA | Presiden Jokowi mengajukan nama Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai calon Kepala Badan Intelijen Negara. Tak seperti dua pemimpin BIN sebelumnya yang berlatar belakang militer, Budi Gunawan –yang akrab disapa BG– murni orang Kepolisian.

Saat ini Kepala BIN masih dijabat Letnan Jenderal (Purn) Sutiyoso. Sebelumnya, Letnan Jenderal (Purn) Marciano Norman. Sutiyoso mantan Wakil Komandan Jenderal Kopassus, Marciano mantan Pangdam Jaya. Mereka tentara, dan tentu Angkatan Darat.

Dari masa ke masa, BIN hampir selalu “dikuasai” oleh TNI Angkatan Darat. Namun, ada pengecualian untuk periode 2009-2011. Kala itu, pucuk pimpinan BIN berasal dari Kepolisian. Jenderal (Purn) Sutanto.

Sutanto dipilih Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Kepala BIN. Namun, menurut pakar militer Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Kusnanto Anggoro, masa kepemimpinan Sutanto di BIN bukan tanpa masalah.

“Dulu pernah Jenderal Sutanto dari Kepolisian di BIN, dan tentu ada sedikit persoalan,” kata Kusnanto kepada CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.

Tanpa menyebut apa masalah yang ia maksud, Kusnanto menyarankan Budi untuk melakukan penyesuaian dengan cepat di BIN.

Jika direstui DPR dan lolos uji kelayakan di Komisi I Bidang Intelijen DPR, Budi Gunawan akan menjadi polisi kedua yang memimpin BIN.

Seorang petinggi Polri yang tahu cara kerja intelijen Kepolisian, ujar Kusnanto, tetap perlu belajar cepat untuk menakhodai BIN. Sebab, intelijen Kepolisian tak sama dengan intelijen negara. Jenis kompetensi yang dibutuhkan di kedua instansi itu berbeda.

Background adalah sesuatu yang penting. Pak Budi Gunawan tidak mempunyai latar belakang yang cukup di bidang intelijen,” ujar Kusnanto, melakukan penilaian.

Ia berharap penyesuaian BG tak berlangsung lama. Sebab situasi BIN saat ini telah berubah dibanding masa kepemimpinan Sutanto.

Pada masa Sutanto, belum ada kebijakan yang secara khusus mengatur tentang Intelijen Negara. Sementara saat ini telah disusun Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara.

Berdasarkan UU itu, kata Kusnanto, ada beberapa hal yang harus dilakukan Kepala BIN terkait kewenangannya, secara lebih eksplisit. Ini utamanya tugas untuk mengoordinasikan fungsi-fungsi dan kemampuan intelijen.

BG dituntut bisa melakukan sinergi secara apik di antara beberapa badan intelijen yang ada di Indonesia seperti Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI, Badan Intelijen dan Keamanan (Baintelkam) Polri, serta intelijen di pabean, imigrasi, dan lain-lain.

“Dalam BIN, bukan kapasitas pribadi yang dipentingkan, tapi kapasitas kepemimpinan dan manajerial,” ujar Kusnanto.

UU Intelijen Negara mengatur bahwa koordinasi dilakukan melalui rapat sebulan sekali. Padahal, kata Kusnanto, hal itu tak cukup.

“Isu sentralnya adalah bagaimana mengoperasionalkan standar operasi prosedur dalam tugas koordinasi itu.”

Kusnanto berpendapat, Budi perlu menyusun standar operasi prosedur setelah rapat sebagai tindak lanjut. Misalnya, jika dalam rapat disepakati tentang kriteria mengenai intelijen yang harus diberikan kepada BIN.

Selain itu adalah soal modalitas, yakni cara-cara memperoleh intelijen. Ada pula soal tenggat waktu minimum terkait laporan. Misal, laporan dari intelijen lain harus dapat diterima intelijen negara selambat-lambatnya 2 x 24 jam.

“Intinya, perlu aturan rinci tentang bagaimana koordinasi itu dilakukan,” kata Kusnanto.

Agen Presiden

Berbeda dengan pendapat Kusnanto, Mantan Kepala BAIS Laksda (Purn) Soleman Ponto menilai Budi memiliki pengalaman memadai untuk menjadi orang nomor satu di BIN.

Ia bahkan menyebut Budi sebagai Kapolri pilihan DPR.

“Kalau melihat dari pengalamannya, sudah cukup (untuk jadi Kepala BIN),” kata Soleman.

Dalam ilmu intelijen, Kepala BIN merupakan agen, sedangkan Presiden sebagai agenhandler. Agen handler punya kewenangan 100 persen untuk memilih agennya.

“Jadi apakah (Kepala BIN) itu polisi atau tidak, itu tidak bisa kita komentari. Yang tahu kebutuhan dan segala macamnya itu adalah Presiden,” kata Soleman.

Dia tidak mempersoalkan latar belakang Kepala BIN, apakah dari Polri, TNI, maupun sipil. Bagi Soleman, intelijen tetap intelijen.

Siapapun yang berada di dalam BIN, dia bekerja atas perintah Presiden.

“Jadi tak masalah,” ujar Soleman.

Pemilihan Budi sebagai Kepala BIN, menurut Soleman, memiliki keterkaitan dengan sejumlah orang yang menduduki posisi strategis di pemerintahan Jokowi.

Juli lalu, Jokowi melantik mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Jenderal Tito Karnavian sebagai Kapolri.

Bulan sebelumnya, mantan Kepala Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri Komjen (Purn) Gories Mere diangkat Jokowi sebagai Staf Khusus Presiden Bidang Intelijen dan Keamanan. Demikian pula mantan anggota Dewan Analis Strategis BIN Diaz Hendropriyono jadi Staf Khusus Jokowi.

Pada perombakan kabinet jilid II, Jokowi juga mendapuk mantan Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI Jenderal (Purn) Wiranto sebagai Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan.

Saat Wiranto menjabat Menhankam/Pangab di akhir Orde Baru, ujar Soleman, Polri berada di bawah koordinasi Wiranto.

Oleh sebab itu Soleman menilai Wiranto akan mudah berkoordinasi dengan Tito Karnavian, Budi Gunawan, dan Gories Mere –pasukan Jokowi dari Kepolisian.

Soal apakah BIN akan maju atau mundur di bawah Budi Gunawan, ujar Soleman, hal itu tergantung pula kepada Presiden sebagai agen handler yang memberikan perintah kepada Kepala BIN.

Pada akhirnya, semua untung rugi dalam penunjukkan Budi Gunawan akan kembali kepada Presiden Jokowi. (CNN Indonesia)

Exit mobile version