Oleh : Dr. Yenrizal, M.Si (Dosen FISIP UIN Raden Fatah)
BERITAMUSI – Sempat dikabarkan dikeluarkan dari proyek strategis nasional, pembangunan jalan Tol Prabumulih-Muara Enim sepertinya akan tetap dikerjakan dan kemungkinan selesai di 2025. Demikian juga jalur Palembang-Bengkulu, kendati sudah distop, besar kemungkinan hanya soal waktu. Andai ini betul-betul terwujud maka daerah disekitarnya tentu akan kecipratan rejeki. Kabupaten Lahat adalah salah satunya, karena jarak Muara Enim ke ibukota Lahat untuk waktu normal saat ini hanya sekitar 1 jam.
Adanya jalan tol tentu saja akan memangkas jarak dan waktu tempuh menjadi sangat signifikan. Jalur Palembang-Lahat jika ditempuh melalui jalur sekarang ini (setelah adanya tol Palembang-Prabumulih) sekitar 5 jam. Andai tol jadi dibangun, waktu tempuh bisa dikurangi separuhnya. Katakanlah maksimal 3 jam perjalanan dari Palembang sudah tiba pusat kota Lahat. Dengan waktu seperti ini, maka Palembang-Lahat bisa diakses dalam satu hari PP. Berangkat jam 7 pagi dari Palembang, jam 10 atau 11 sudah bisa melihat puncak Bukit Telunjuk. Jam 5 sore sudah bisa kembali ke Palembang dan tiba pukul 21.00 ataupun 22.00 WIB.
Pembangunan infrastruktur memang identik dengan percepatan, terutama jalan raya. Yang jauh menjadi dekat, jarak tak lagi jadi masalah.
Pertanyaan menarik kemudian adalah, seberapa siapkah Lahat menerima berkah jalan tol ini, terutama sektor wisata? Sasaran akhirnya adalah pertumbuhan ekonomi. Apakah mungkin Lahat kemudian menunjukkan taringnya dan menjadi salah satu ikon di Sumsel? Ataukah justru kemudian seperti kata pepatah “jalan diganti oleh orang yang lewat”?
Data dari BPS tahun 2023 menunjukkan bahwa Lahat sudah mengalami pertumbuhan ekonomi cukup baik, sebesar 6,73% (data sangat sementara). Angka ini mengalami penurunan dibanding tahun 2022 yang berada di kisaran 6,97%. Lahat menduduki posisi kedua dari Kabupaten yang ada di Sumsel dalam urusan pertumbuhan ekonomi setelah Muara Enim. Capaian yang cukup baik.
Naiknya pertumbuhan ekonomi ini ternyata ditunjang paling besar oleh sektor pertambangan dan bahan galian (5,23%). Sementara sektor lainnya tidak ada yang mencapai 1 digit. Jelas, masifnya eksploitasi pertambangan (terutama batubara sebagai objek dominan), mendongkrak angka pertumbuhan ekonomi Lahat. Secara matematis data BPS seperti itu.
Tetapi, ironis sekali, berbanding terbalik dengan pertumbuhan ekonomi, Lahat juga mencatat rekor sebagai Kabupaten penyumbang angka kemiskinan terbesar kedua di Sumsel, setelah Muratara. Tahun 2023 mencapai 15% dari total jumlah penduduk. Uniknya lagi, kendati ada pengurangan setiap tahun, tetapi Lahat tetap pegang rekor juara kedua dalam tiga tahun terakhir.
Menjadi pertanyaan besar kemudian, siapakah sebenarnya yang diuntungkan oleh eksplorasi tambang di Lahat ? Silahkan kita terjemahkan sendiri-sendiri.
Masuknya jalan tol, diyakini bisa memberi dampak signifikan bagi geliat ekonomi di Bumi Seganti Setungguan ini. Akses lalu lintas manusia akan semakin ramai dan lancar.
Lahat sebetulnya punya potensi besar untuk “membangkitkan batang yang masih terendam” ini. Potensi yang sebetulnya berada secara merata dan akan berpengaruh besar pada seluruh lapisan masyarakat. Itulah potensi keindahan alam yang sulit dicari tandingannya, aset wisata alam yang luar biasa.
Secara topografis, Lahat berada dalam lintasan Bukit Barisan. Berdampingan dengan Pagar Alam, Lahat menjadi pintu masuk utama jika akan menuju kawasan Gunung Dempo. Topografi ini menjadikan Lahat sebagai daerah yang penuh lekuk liku, lembah dan bukit, sungai dan hamparan sawah berjenjang (sawah tebing).
Sebutan sebagai salah satu daerah Ulu, kemudian menjadi penanda bahwa Lahat termasuk kawasan yang menjadi sumber mata air bagi aliran Batang Hari Sembilan di Sumatera Selatan. Tak heran, negeri ini pun dinobatkan sebagai Negeri 1000 air terjun. Curahan air bening nan jernih mengalir begitu lancar, menyeruak disela-sela pepohonan dan menghempas bebatuan besar di bawahnya. Deburan air dan gemuruhnya dikala hujan menjadi sebuah eksotika tersendiri. Bukan hanya 1 atau 2, tapi puluhan dan bahkan mungkin ratusan. Tak ada hitungan pasti, karena posisinya masih banyak terhalang pepohonan besar, tertutupi rimbunnya dedaunan, terhalang curamnya jurang dan tingginya bukit. Yang jelas, jumlahnya banyak.
Jika di sekeliling tertegak bukit, ditingkah hempasan Curug yang membuih, ditengah-tengah mengalir Sungai Lematang menjadi muara dari berbagai aliran sungai kecil-kecil di sekelilingnya. Kilauan ikan semah berenang-renang disela bebatuan sebagai hempasan air. Luapan-luapan Sungai Lematang ini menyemburat ke pinggiran, mendatangkan berkah bagi tumbuhnya hamparan sawah. Maka lengkaplah ke atas berdinding bukit, ditengah-tengah sungai mengalir, di tepi padi menguning, dan di pinggiran Curug membuncah. Sungguh pesona yang tidak sedikit bagi tanah Jurai Tue ini.
Memang kedamaian dan keasrian itu terganggu oleh gemuruh derunya kendaraan tambang batu bara, keriangan burung terbang terbatuk-batuk oleh asap kendaraan pengangkut batu bara. Tak ada yang bisa menahan itu. APBD dan pertumbuhan ekonomi secara gelondongan, disumbang pula oleh sektor itu. Beralasan pertumbuhan ekonomi, PAD, dan kebutuhan energi, eksplorasi akan terus terjadi.
Maka yang bisa dilakukan adalah berharap pada jalan tol. Setidaknya intensitas pertemuan dengan pihak luar akan lebih lancar dan mudah, orang akan ramai berkunjung. Bak pepatah, ramainya pasar karena pembeli, maka Lahat akan menunggu itu.
Tetapi menunggu tentu tak bisa sekedar menunggu. Jika sekedar menanti orang lewat, maka bisa dipastikan Lahat akan semata-mata jadi perlintasan saja. Warga hanya akan bisa menatap lalu lalang kendaraan yang sibuk berwisata dari Palembang menuju Pagar Alam, wilayah yang selama ini sudah lebih duluan punya ikon andalan. Mungkin ada rejeki sedikit, mampirlah pendatang tadi membeli lemang atau sekedar melepas lapar di pinggir Lematang. Selepas itu mereka lanjut lagi.
Penting dari sekarang mempersiapkan sebuah konsep wisata terpadu dan terarah untuk mempersiapkan Lahat menyambut kehadiran para pelancong tersebut. Perlu mempermudah akses ke seluruh objek wisata, perlu mempercantik aset yang ada, perlu membangun infrastruktur, perlu pula mempersiapkan penduduknya untuk mulai bersimpati dengan para pengunjung. Sadar wisata, sangat penting dikumandangkan. Lahat harus mulai melakukan branding tentang dirinya sendiri.
Pengemasan dan pengelolaan ini bukan semata-mata mengejar banyaknya aset, tapi bagaimana menyeimbangkan potensi dengan karakteristik daerah. Karena hampir semua aset wisata ini bertalian dengan karakteristik alam, maka alam jangan pula dilawan. Konsep terbaik adalah Ecotourism, menyatunya keindahan dengan kekuatan alam. Ada penguatan antara tebing dengan pohon yang menyangganya. Ada keserasian antara tumpahan air dan muara tempatnya berlabuh.
Kunci dari semua itu adalah inovasi berbasis potensi alam. Inovasi pariwisata yang ramah lingkungan.
Saat ini Lahat sedang berproses secara politik dalam menentukan pemimpin untuk 5 tahun ke depan. Yulius Maulana, Bursah Zarnubi, dan Lidyawati, itulah tiga nama yang sekarang menguat. Tentu ini sangat strategis sekali. Sosok yang akan memimpin ini adalah sosok yang akan mengomandoi Lahat ditengah-tengah perubahan besar.
Apakah dari calon-calon yang mulai digadang-gadang, akan mampu hadir bersama masyarakat, bertransformasi dalam perubahan bersama, mampu membawa Lahat dalam sebuah visi kemajuan semua pihak? Ataukah justru akan kembali terjebak dalam godaan-godaan mengejar angka pertumbuhan ekonomi dengan terus menggali batu bara? Lupa akan sawah mulai mengering, lupa akan air terjun yang mulai jadi ancaman di musim hujan, lupa akan Lematang yang mulai mengeruh. Rekam jejak mereka selama inilah yang bisa dijadikan patokan, setidaknya begitu.
Pastinya, apakah warga Lahat akan jadi penonton terhadap keramaian lalu lalang orang nantinya, ataukah mampu “menangkap” mereka sebagai sumber kesejahteraan baru di masa depan, para calon pemimpin inilah yang bertanggungjawab. Publikpun ikut menentukan, karena salah memilih maka Lahat akan begini-begini saja dan bisa jadi naik peringkat dari rangking 2 ke rangking 1, soal kemiskinan. Kita tunggu saja.