Palembang

Kabut Asap di Sumatera Selatan, Ancaman Serius Bagi Kesehatan

74

Oleh : Reni Rentika Waty

Palembang – Kualitas udara di Sumatera Selatan mulai memburuk dan tidak sehat akibat kabut asap dari kebakaran hutan dan lahan. Berdasarkan data dari lembaga pemantau kualitas udara IQAir, Indeks Kualitas Udara (AQI) di Palembang mencapai level yang tidak sehat. Kebakaran hutan menjadi sumber utama pencemaran udara karena menghasilkan kabut asap dengan partikel debu.

Sumatera Selatan memiliki kawasan hutan yang luas, sehingga rawan terjadi kebakaran. Kebakaran hutan dapat menimbulkan dampak besar seperti gangguan ekosistem, masalah kesehatan, dan kelumpuhan aktivitas masyarakat. Dampaknya juga dapat menjangkau wilayah yang jauh dari area terbakar. Salah satu penyebabnya adalah aktivitas perusahaan yang melakukan pengeringan lahan melalui pembuatan kanal berskala besar. Hal ini menyebabkan lahan menjadi kering dan mudah terbakar, terutama saat musim kemarau seperti saat ini.

Berdasarkan analisis WALHI Sumsel menggunakan citra satelit, terdapat 370 titik api pada Agustus yang terkait dengan izin korporasi. Dari jumlah tersebut, 196 titik api berada di izin konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI), sementara 174 titik api berasal dari Perkebunan Kelapa Sawit.

Dampak ekologis dari kebakaran lahan baru-baru ini sangat dirasakan masyarakat, seperti kabut asap dan pencemaran udara. Data Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) IQAir menunjukkan kualitas udara di Palembang saat ini tidak sehat, dengan konsentrasi PM 2,5 mencapai 18,2 kali lipat dari nilai panduan WHO.

WALHI Sumsel mencatat bahwa bencana ekologis kebakaran lahan baru-baru ini menyebabkan kabut asap dan pencemaran udara yang merampas hak masyarakat Sumatera Selatan atas udara yang sehat. Data Dinas Kesehatan Sumatera Selatan juga mencatat 79.400 jiwa menderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pada Juni dan Juli 2023.

Krisis Karhutla di Sumatera Selatan bukan hanya masalah ekologis, tetapi juga krisis kesehatan masyarakat. Tindakan cepat dan efektif harus diambil pemerintah dan pihak terkait untuk mengatasi kebakaran, melindungi lingkungan, serta menjaga kesehatan masyarakat. Selain itu, perlu ditingkatkan kesadaran akan pentingnya pelestarian lingkungan dan upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan di masa depan.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup Sumatera Selatan, Lesty Nuraini menyatakan bahwa kondisi udara di Palembang dipengaruhi oleh faktor kebakaran hutan dan lahan dibeberapa wilayah Sumatera Selatan. Titik panas tertinggi saat ini terpantau di Kabupaten Banyuasin, Musi Banyuasin, dan Ogan Komering Ilir.

“Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan salah satu penyakit yang disebabkan oleh kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan. Dalam kurun waktu Januari hingga Juni 2019, terdapat 274.502 kasus ISPA yang tercatat di Sumatera Selatan. Kota Palembang menjadi wilayah dengan jumlah kasus tertinggi, yaitu sebanyak 80.162 kasus,” ujar Lesty.

Dinas terkait terus melakukan pemantauan dan mengimbau masyarakat untuk membatasi aktivitas di luar ruangan serta menggunakan masker jika terpaksa harus keluar rumah. Kabut asap juga dapat mengganggu penerbangan di Bandara Internasional Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang.

“Masyarakat diminta untuk waspada dan siap menghadapi dampak buruk asap kebakaran terhadap kesehatan. Salah satu upaya yang dianjurkan adalah menggunakan masker saat bepergian di luar rumah untuk mengurangi paparan partikel kabut asap yang dapat terhirup,” lanjut Lesty.

Kabut asap diperkirakan akan bertahan hingga awal Oktober 2023. Kondisi ini dipengaruhi oleh kemarau panjang yang mengakibatkan kurangnya potensi hujan dan angin yang cenderung lemah.  Sehingga, Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan mengimbau seluruh pihak untuk mewaspadai kebakaran hutan dan lahan, terutama di musim kemarau seperti saat ini. Masyarakat juga diminta untuk tidak melakukan pembakaran lahan secara sembarangan yang dapat memperburuk kualitas udara. (*)

Exit mobile version