Kejadian penganiayaan bermula Selasa malam (30/6) saat Tarto dijemput oleh utusan kades di kediamannya. “Hansip dan Kadus yang jemput saya malam itu, katanya dipanggil Kades,” ujar Tarto memberikan keterangan ketika dibincangi Senin siang.
Setibanya di rumah Kades Widodo, dia diintrogasi dan dituduh mencuri karet sebanyak 6 mangkok. Padahal, jelas Tarto, ia sama sekali tak melakukan tuduhan yang disangkakan.
Saat itu Kades menuduh dirinya lantaran menemukan ikat kepala miliknya di TKP. Tarto membantah, sebab ikat kepala miliknya sudah lama hilang. Hingga kemudian berujung penganiayaan terhadap dirinya.
Kades memukul leher dan kepala Tarto. “Aku dikunci di dalam rumah Kades. Lalu dipukuli. Kalau tidak dipisah oleh kepala dusun mungkin saya sudah mati,” ungkap pria yang berprofesi petani ini sambil menahan rasa sakit di hadapan penyidik.
Setelah dianiaya, Tarto dilaporkan ke Polsek Buay Madang. Dengan laporan Tarto dihakimi massa atas tuduhan pencurian. Selang berapa lama pihak kepolisian mendatangi rumah kades yang bersangkutan. Karena tak cukup bukti akhirnya Tarto dilepaskan. “Setelah tidak terbukti bersalah dan tidak adanya bukti sehingga saya dibebaskan,” ujarnya.
Tarto yang merasa terhina atas tuduhan dan tindakan penganiayaan terhadap dirinya akhirnya mendatangi Mapolres OKU TIMUR, Desa Kotabaru Selatan, Martapura untuk melaporkan Kades yang bersangkutan.
Ia datang membawa bukti visum dari RSUD Martapura dan didampingi oleh Zulaini selaku ketua LSM Masyarakat Bersatu (Mabes). Zulaini yang mendampingi Tarto untuk mediasi dan melaporkan penganiayaan tersebut untuk mendapatkan perlindungan hukum. “Sebab Tarto tidak memiliki latar belakang pendidikan formal yang tinggi. Jadi kami membantu memediasi Tarto ke Polres OKU Timur untuk mendapatkan keadilan,” ujar Zulaini.
Laporan Tarto tertuang dalam TBL-B/73/VII/2015/SUMSEL/OKUT. Terlapor dikenakan Pasal Penganiayaan 351 KUHPidana.(FEB/OKUT)