Ekonomi & Bisnis

Dana Ketahanan Energi Dipertanyakan

131
Bensin
Wakil Ketua Komisi VII DPR Satya Widya Yudha menyebut pemerintah tidak memiliki landasan hukum yang kuat untuk mengutip dana ketahanan energi. (REUTERS/Darren Whiteside)

JAKARTA I Wakil Ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Satya Widya Yudha menilai Dana Ketahanan Energi (DKE) yang dicanangkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said belum memiliki payung hukum yang jelas. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang energi belum secara eksplisit menjelaskan mekanisme pemungutan dana tersebut.

“Dalam Pasal 29 dan 30 UU Energi, tidak eksplisit mencantumkan mekanisme pemungutan dana energi dari masyarakat. Yang ada adalah mendanai pengembangan energi baru dan terbarukan dari uang yang dihasilkan dari sumber daya alam yang tak bisa diperbaharui dalam hal ini adalah minyak dan gas alam,” kata Satya usai mengisi diskusi soal pembangunan kilang minyak Blok Masela, di kawasan Cikini, Jakarta, Sabtu (2/1/2015).

Dalam aturan yang telah ada, negara berkewajiban mendanai penelitian dan pengembangan energi terbarukan dari penerimaan negara di sektor minyak dan gas. Dalam skema ini, duit yang diambil bukanlah dari masyarakat langsung.

Sementara yang diusulkan oleh Sudirman Said merupakan pemungutan DKE melalui premi deplesi atau pengurasan seluruh bahan bakar fosil termasuk minyak mentah, batubara, dan gas alam. Seperti yang diberitakan sebelumnya, alasan pemerintah ingin mengutip DKE adalah untuk membangun ketahanan energi melalui pembangunan infrastruktur energi terbarukan.

Dana ini nantinya juga digunakan untuk mengeksplorasi migas, geothermal, dan batubara karena investasi untuk eksplorasi sedang mengalami penurunan. Namun hingga kini belum ada mekanisme pengelolaan yang jelas terkait DKE. Sedangkan Sudirman ngotot bakal memberlakukan kebijakan tersebut pada 5 Januari 2016.

Dua Alternatif

Satya mengatakan, jika pemerintah tetap ngotot untuk memasukkan DKE ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) dalam waktu dekat, DPR menawarkan dua alternatif. Pertama, dengan menyisihkan anggaran penerimaan dari migas sebanyak 5 persen untuk pengembangan energi alternatif.

“Kedua adalah minta partisipasi masyarakat dengan pembicaraan yang terbuka. Pemungutannya bisa beragam cara termasuk pajak,” katanya.

Untuk partisipasi masyarakat menurut Satya, membutuhkan kesadaran yang tinggi lantaran pasokan migas dan batubara akan habis dalam 20 tahun ke depan. “Agar tak habis maka gunakan energi alternatif,” katanya. (cnnindonesia.com)

 

Exit mobile version