JAKARTA I Aksi unjuk rasa nampaknya tak selalu berdampak buruk bagi setiap masyarakat. Setidaknya, momen ini bisa menjadi peluang bagi beberapa orang untuk mencari sejumput rezeki di tengah lautan massa.
Abdul (46) contohnya. Pria yang berjualan mangga, tahu Sumedang, dan kacang goreng ini menempuh perjalanan jauh sepanjang 60 kilometer (km) dari Karawang hanya untuk menjajakan dagangannya di tengah riuhnya orasi pengunjuk rasa.
Memang, ia telah lama berjualan di ibukota sejak zaman Orde Baru. Namun ia mengaku tak sabar menunggu aksi damai 4 November ini, di mana pelaku protes massal diprediksi lebih banyak dibanding biasanya.
“Iya lumayan hasil jualannya. Pas masa begini kan orang-orang butuh snack. Saya sampai jalan jauh dari Karawang hanya untuk berjualan snack seperti ini,” tuturnya seperti dikutip CNNIndonesia.com di depan Gedung Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jumat (4/11).
Upaya itu berbuah manis. Ia mengaku telah mengantungi laba sebesar Rp200ribu selama satu jam berkeliling menawarkan jajanan yang dipikulnya. Angka ini meningkat signifikan apabila dibandingkan laba yang ia hasilkan setiap hari sebesar Rp100ribu.
“Saya kadang di Karawang, kadang di Jakarta. Kalau di Jakarta saya biasanya jualan di depan Gedung Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), namun ya kadang hasilnya tidak seberapa,” tambah Abdul.
Meski terbilang menguntungkan, bukan berarti berjualan di tengah demonstrasi minim risiko. Dengan semangat, ia menceritakan pengalamannya terkena gas air mata ketika berjualan di tengah-tengah demonstrasi di depan Kedutaan Besar Amerika Serikat beberapa waktu silam.
“Saat itu saya sedang berjualan, banyak tuh yang beli. Tiba-tiba dari belakang saya ada yang lempar gas air mata. Semuanya bubar, lalu mata saya perih. Bahkan sempat panik, bingung pulang bagaimana. Tapi tidak apa-apa, yang penting pulang aman dan bawa uang,” ujarnya.
Setali tiga uang, seorang penjual siomay, Subandrio (53), juga mengantongi untung dadakan ketika berjualan di tengah aksi unjuk rasa. Ia meyakini bahwa dagangannya selalu moncer, karena ia punya teori sendiri mengenai perilaku para demonstran.
“Biasanya mereka jalan jauh-jauh, teriak-teriak, pasti lapar tuh. Ya sudah, saya parkirkan sepeda saya, buka lapak, lalu demonstran mulai menghampiri satu-satu. Makanya saya selalu jualan di dekat massa yang paling ramai,” jelas pria yang sehari-hari berjualan di kawasan Senayan.
Maka dari itu, ia pun selalu memanfaatkan digelarnya demonstrasi sebagai ajang mencari rezeki. Bahkan untuk hari ini, ia sampai memboyong 700 buah siomay di pancinya untuk memenuhi perut kosong para demonstran. Padahal, ia biasanya hanya membawa 500 siomay saja.
“Saya di sini sehabis salat Jumat. Lumayan, dua jam saja sudah ramai. Tapi saya belum menghitung berapa untungnya,” tutur Subandrio.
Lebih lanjut, ia pun mengaku tak gentar ketika harus berjualan di tengah-tengah massa yang protes. Ia mengklaim pengalamannya terbilang sudah mumpuni.
Salah satu pengalaman yang tak pernah ia lupakan adalah Peristiwa Trisakti pada 1998 silam. Kala itu, situasi sudah memanas dan baku tembak terdengar dimana-mana. Saat ia bergegas menyelamatkan diri, tiba-tiba para demonstran menghampiri dagangannya.
“Saya tadinya mau pergi, tapi ada yang nyamperin. Akhirnya saya layani dulu. Jadi, ketika orang-orang di belakang saya bakar-bakar ban, saya tetap saja jualan. Ternyata di saat-saat seperti itu masih saja ada orang yang memikirkan urusan perut,” tandasnya.(CNN)