Beritamusi.co.id – PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. atau BNI (kode saham: BBNI) terus membukukan kinerja yang solid hingga kuartal ketiga tahun 2022, sehingga dapat memperkuat fondasi perusahaan dalam menghadapi tantangan ekonomi global ke depan.
Sampai dengan September 2022, laba bersih BNI tumbuh 76,8% Year on Year (YoY) mencapai Rp 13,7 triliun. Pertumbuhan laba yang sehat ini tetap dapat dicapai meskipun perseroan menerapkan strategi fungsi intermediasi selektif.
Pertumbuhan kredit mencapai 9,1% YoY menjadi Rp 622,61 triliun dengan fokus pada segmen berisiko rendah, debitur Top Tier di setiap sektor industri prospektif, serta regional champion di masing-masing daerah. Diharapkan, eksposur kredit berkualitas tinggi ini berdampak pada perbaikan kualitas kredit dalam jangka panjang.
Sebagai penopang pertumbuhan kredit, BNI mengandalkan pendanaan terutama dari Current Account Savings Account (CASA) yakni tabungan dan giro. Rasio CASA BNI mencapai 70,9% dari total dana pihak ketiga (DPK). Angka ini merupakan pencapaian yang tertinggi dalam beberapa tahun terakhir ini.
Dengan performa tersebut, Net Interest Income BNI tumbuh 5,2% YoY menjadi Rp 30,2 triliun. Non-Interest Income juga tumbuh baik mencapai 7,8% YoY menjadi Rp11 triliun, yang didorong oleh transaksi digital dan fee dari bisnis sindikasi, sehingga BNI mencetak pendapatan operasional sebelum pencadangan atau Pre-Provisioning Operating Profit (PPOP) sebesar Rp 25,8 triliun atau meningkat 9,7% YoY.
“Kami sangat bersyukur sampai dengan kuartal ketiga 2022 ini, kami dapat konsisten membukukan kinerja yang solid di tengah berbagai tantangan ekonomi global maupun domestik,” kata Direktur Utama BNI Royke Tumilaar.
Dia berpendapat, kondisi eksternal di kuartal tiga ini tergolong menantang dipicu oleh eskalasi tensi geopolitik sehingga menciptakan sejumlah risiko baru di tengah efek Pandemi Covid-19 mulai mereda.
Ketegangan geopolitik telah mengganggu rantai pasok sehingga menyebabkan lonjakan harga komoditas energi dan pangan global. Hal ini pun berdampak pada meningkatnya laju inflasi yang kemudian diikuti pengetatan kebijakan moneter di berbagai negara. Tren ini berpotensi menyebabkan perlambatan laju pertumbuhan ekonomi.
“Tentunya kami akan terus berupaya untuk menjaga kinerja perseroan agar tetap sustain sehingga dapat membantu pemerintah melanjutkan tren pemulihan ekonomi serta tetap memberikan imbal hasil investasi kepada pemegang saham,” katanya.
Royke melanjutkan, perseroan yakin dapat merealisasikan kinerja positif hingga akhir 2022, didukung oleh portofolio kredit yang sudah jauh lebih sehat dan tetap mengedepankan aspek prudential banking.
Terlebih, tren kinerja ekonomi Indonesia yang masih tumbuh impresif sebesar 5,4% YoY di kuartal dua dan hingga akhir tahun diperkirakan masih pada kisaran di atas 5,3% YoY.
“Tren pertumbuhan ini masih cukup baik dibandingkan dengan banyak negara lain di dunia. Maka, kami optimis masih berada dalam jalur yang tepat untuk memenuhi perkiraan laba tahun 2022 sesuai dengan corporate plan,” pungkasnya.
Sementara itu, Wakil Direktur Utama BNI, Adi Sulistyowati, memaparkan kinerja pertumbuhan kredit di Kuartal Ketiga 2022 ini didorong oleh kredit korporasi swasta yang mencapai Rp 211,9 triliun atau tumbuh 20,4% YoY, selanjutnya diikuti oleh segmen large komersial tercatat sebesar Rp 49,4 triliun tumbuh 22,3% YoY.
Pada segmen kecil, pertumbuhan terutama pada Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang tercatat sebesar Rp 51,3 triliun atau naik 24,3% YoY, dan untuk segmen konsumer mencapai Rp 106,9 triliun atau naik 11,3% YoY dengan pertumbuhan terutama pada produk payroll loan.
“Pertumbuhan ini sejalan dengan strategi manajemen untuk tumbuh dengan sehat dan sustain dengan menyasar pada debitur top tier di segmen industri prospektif diiringi dengan kebijakan manajemen risiko yang prudent,” sebutnya.
Adi Sulistyowati yang akrab disapa Susi menuturkan, perkembangan kinerja BNI hingga Kuartal Ketiga 2022 juga didukung oleh tingkat permodalan yang kuat dan likuiditas yang memadai sebagaimana tercermin dari Capital Adequacy Ratio (CAR) yang berada di level 18,9% dan Loan to Deposit Ratio (LDR) yang berada pada posisi 91,2%.
“Selain itu, Liquidity Coverage Ratio (LCR) berada di 193% dan Net Stable Funding Ratio (NSFR) berada di 124% yang menunjukkan bahwa BNI memiliki kecukupan likuiditas untuk mendukung pertumbuhan bisnis,” katanya.
Dari sisi kualitas aset, Susi menyampaikan bahwa Loan at Risk (LAR) mengalami penurunan signifikan dari 25,2% di September 2021 menjadi 19,3% di September 2022, terutama karena menurunnya jumlah kredit restrukturisasi karena Covid – 19.
“Kami pun terus berupaya menjaga LAR Coverage atau rasio pencadangan untuk debitur LAR pada level yang memadai yakni sebesar 42,7%. Bahkan, kami melihat bahwa kemampuan pembayaran kewajiban dari debitur LAR semakin membaik sehingga mendorong perbaikan pada pendapatan bunga, serta menjadi indikasi pemulihan bisnis nasabah yang lebih baik setelah terdampak pandemi,” sebutnya.
Royke Tumilaar mengakui prospek ekonomi domestik berpotensi tidak lagi seimpresif semester pertama. Namun, perseroan masih melihat indikator makro ekonomi di Indonesia akan cukup sehat dibandingkan negara lain. Inflasi hingga September berada pada level 6%, dan masih cukup wajar untuk ukuran negara berkembang dan tahun depan diperkirakan membaik di bawah 4%.
Meskipun tren perlambatan ekonomi global cukup mengkhawatirkan, perekonomian Indonesia diperkirakan relatif stabil dengan didukung bauran kebijakan fiskal dan moneter yang efektif untuk menjaga stabilitas. Indikator kestabilan eksternal ekonomi Indonesia pun terus membaik, terutama dari cadangan devisa yang kuat serta tingkat eksposur utang luar negeri yang rendah.
“Tentu kita perlu mewaspadai potensi meningkatnya risiko yang akan dihadapi oleh perekonomian dan perbankan Indonesia ke depan. Untuk itu, perseroan mengambil langkah proaktif untuk menjaga profitabilitas dapat sustain dalam jangka panjang,” katanya.
Strategi pertumbuhan BNI akan tetap fokus pada segmen yang memiliki return yang atraktif dengan kualitas kredit yang baik, seperti korporasi sektor unggulan dan value chain-nya, pinjaman payroll di segmen konsumer, serta KUR di segmen kecil.
Dengan strategi yang konservatif ini, Net Interest Margin (NIM) diperkirakan akan berada di level yang moderat, namun akan dikompensasikan dengan Cost of Credit atau biaya CKPN yang rendah dan fee income yang optimal dari transaksi nasabah.
“Kami percaya ini adalah strategi yang tepat di tengah turbulensi ekonomi global, untuk memberikan hasil yang optimal dan sustainable bagi para pemegang saham kami,”imbuh Royke.(Romi/Ril)