Migrasi Burung Pemangsa dan Kelestarian Hutan Indonesia

1

SURABAYA I Migrasi ribuan burung pemangsa dari belahan bumi utara ke selatan, menjadi pemandangan menarik warga Jawa Timur, khususnya Malang dan Batu. Pasalnya, raptor ini dapat dilihat langsung dengan mata, terlebih dengan binokuler, dari Gunung Banyak, Batu. Sedangkan di Malang, burung pengembara tersebut melintasi Gunung Biru dan Anjasmoro guna menghindari musim dingin di wilayah asalnya.
Made Astuti, peneliti burung dari Profauna Indonesia mengatakan, September hingga awal Januari merupakan waktu ideal bagi elang untuk pindah ke belahan bumi selatan. Tujuannya, mencari suhu udara yang lebih hangat.
“Di belahan bumi utara saat ini sedang musim dingin atau salju, jadi mereka mencari tempat yang hangat,” ujar Made di Malang, Kamis (5/10/15).
Burung pemangsa atau raptor ini dalam perjalanannya akan melintasi Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Di Indonesia, burung yang mengembara lintas negara ini, akan melewati wilayah Riau, Jambi, Palembang, Lampung, Jawa, Bali, hingga Flores. “Ini fenomena alam yang sangat menarik. Setiap tahun, tercatat lebih dari 20.000 elang melintasi Indonesia termasuk di Malang ini.”
Tidak hanya elang yang bermigrasi, ada juga jenis lain seperti burung pantai, yang berpindah untuk menghindari musim dingin. Dari pengamatan Profauna sejak 1996, lebih dari 20.000 elang yang migrasi, untuk selanjutnya akan kembali ke belahan bumi utara pada Februari hingga Mei.
Selain melakukan pengamatan, Profauna juga melakukan penghitungan elang yang melintas setiap harinya di beberapa wilayah pegunungan di Jawa, termasuk Malang. Setiap hari, diperkirakan ada 1.000 hingga 3.000 elang yang melintas berkelompok. “Penghitungan memakai counter dengan beberapa metode.”
Kawanan elang yang migrasi dan melintasi Malang tercatat tiga jenis, elang-alap cina (Accipiter soloensis), elang-alap nipon (Accipiter gularis), dan sikep-madu asia (Pernis ptilorhynchus). Sedangkan elang yang dijumpai di Indonesia antara lain elang jawa, elang hitam, elang-ular, elang brontok, juga sikep-madu. “Paling banyak yang kami amati ada di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS),” papar Made.
Migrasi merupakan cara beradaptasi yang berkaitan dengan ketersedian pakan burung di alam akibat perubahan cuaca di tempat asalnya. Dalam kamus Dictionary of Birds (Campbell, 1985) disebutkan bahwa migrasi merupakan pergerakan populasi burung yang terjadi pada waktu tertentu setiap tahun, dari tempat berbiak menuju tempat mencari makan selama iklim di tempat berbiaknya itu tidak memungkinkan. Di tempat barunya itu, burung-burung tersebut tidak akan berbiak, dan baru berbiak jika sudah kembali ke tempat asalnya pada musim berbiak berikutnya.
Dampak positif
Migrasi burung pemangsa ke Indonesia memberikan dampak positif bagi pengendalian hama tanaman seperti belalang, tikus, hingga bajing. Elang yang melintas atau singgah di sekitar pegunungan Biru dan Anjasmoro otomatis berhenti untuk istirahat atau mencari makanan. “Elang itu predator,” imbuh Made.
Namun, hutan yang kelebatannya berkurang akibat ditebang dan alih fungsi lahan, menyebabkan jumlah elang yang bermigrasi mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir. Kenapa? Karena hutan sangat dibutuhkan sebagai tempat singgah hingga mencari makanan.
“Beberapa tahun terakhir lebih sedikit dan tinggal 10.000-an individu. Kebakaran dan perusakan hutan, mengakibatkan tempat singgahnya hilang. Secara ekologi, Indonesia pastinya rugi.”
Kondisi gunung dan bukit di Malang yang makin berkurang tegakan pohonnya, beralih menjadi area pertanian, permukiman, dan villa, adalah contohnya. “Ini sangat berpegaruh dan mengancam habitat burung dan satwa lainnya.”
Pendiri sekaligus Ketua Profauna Indonesia, Rosek Nursahid menegaskan, kerusakan habitat elang di Jawa Timur sangat berpengaruh terhadap migrasi serta populasi elang lokal. “Hutan dan gunung sekarang sebagian sudah pada gundul dan beralih menjadi ladang. Akibatnya, kita mulai sulit melihat elang yang dulunya sering dijumpai dalam limat tahun terakhir.”
Migrasi ribuan elang ke Indonesia menurut Rosek, seharusnya dapat dimanfaatkan secara ekonomi maupun ekologi, khususnya untuk menjaring wisatawan minat khusus. Namun, hal ini harus diikuti oleh upaya menjaga serta melestarikan hutan dari penebangan liar dan kebakaran.
Gunung Banyak, bukan sekadar lintasan, tapi juga tempat singgah. “Logikanya, asap yang muncul akibat kebakaran hutan saja menyengsarakan manusia, apalagi satwa. Makanya, hutan harus kita jaga,” pungkas Rosek. (mongabay)
BERITA TERKAIT
Puluhan Mobil Hias Ramaikan Karnaval Seni Budaya di Muba
Molen Anjurkan Jomblo di Pangkalpinang Cari Jodoh Anggota Paskibraka
HUT RI ke-77, Momentum Pulihkan Ekonomi
Peringati HUT Kemerdekaan RI ke-77, Molen Gelar Doa Bersama Lintas Agama
Masuki Tahapan Pilkada, KPU Pangkal Pinang Ajak Diskominfo Bersinergi
Tim Spider Polsek Jebus Ungkap Kasus Pencurian Alsintan
Pemkab OKU Anggarkan TPP untuk 6000 ASN
Wow! Grand Ranggonang Hotel Punya Kolam Renang Tercantik di Sumsel
Bersama OPD, Bupati Mura Tinjau Pembangunan Jalan
Kinerja Agen BRILink Makin Moncer, Raup Fee Based Income Rp.702,7 Miliar
Puluhan Calon Penerima Beasiswa SDM Sawit Ikuti Seleksi
Museum Batu Bara Bukit Asam Resmi Dibuka
709 WBP Narkotika Muara Beliti Terima Remisi
PLN Sambung Listrik Gratis Kepada Warga Kurang Mampu
746 Warga Binaan Lapas IIB Sekayu Dapat Remisi di HUT RI ke-77
Upacara Bendera HUT RI di Kabupaten Muba Berlangsung Khidmat
Tujuh WBP Rutan Kelas II B Baturaja Hirup Udara Bebas
Semarak HUT RI Ditengah keterbatasan
Bupati OKI Ajak Masyarakat Dukung Agenda Besar Indonesia Maju
Rayakan Hari Kemerdekaan, BRI Resmikan Menara BRILian Berkonsep Green & Smart Buildin
Dua Personil Polda Sumsel Raih Juara MTQ Tingkat Mabes Polri